Kenakalan Remaja di Bulan Suci Ramadan, Salah Siapa?


Oleh Billy Joe

Ramadan datang seperti tamu agung yang dielu-elukan. Spanduk Marhaban ya Ramadan bertaburan di setiap sudut kota, masjid-masjid dipenuhi lantunan tadarus, dan umat Islam berlomba-lomba menumpuk pahala lewat tarawih serta kajian keagamaan. Bulan ini, katanya, penuh keberkahan. Bulan ini, katanya, suci.

Namun, ada sisi lain Ramadan yang tak tertulis di baliho-baliho religius itu. Di gang-gang sempit dan jalanan kota, deru mesin motor memecah malam, menandakan balapan liar siap dimulai. Di lorong-lorong gelap, tangan-tangan bertaut, sarung berisi batu melayang, berubah menjadi senjata. Tawuran pecah, dan di beberapa kasus, nyawa melayang. Sungguh ironi—di saat sebagian orang bersujud dalam doa, sebagian lainnya tersungkur di aspal, dihantam pentungan aparat. Ramadan yang disebut sebagai bulan kebaikan, di tangan mereka berubah menjadi arena taruhan adrenalin.

Seperti biasa, lagu klasik kembali diputar para remaja yang salah. Mereka dicap sebagai produk gagal. Anak-anak tak tahu diri, tak bisa memaknai Ramadan, liar, biang onar, generasi rusak. Tapi mari kita tarik napas sejenak dan bertanya apakah mereka benar-benar produk gagal, atau justru korban dari sistem yang gagal

Mari kita lihat dari kacamata sosiologi. Anak-anak ini bukan lahir dari ruang hampa. Mereka adalah produk lingkungan, dibentuk oleh orang tua, masyarakat, dan sistem sosial yang membesarkan mereka. Namun, di bulan Ramadan, ketika orang tua sibuk menumpuk ibadah individual, anak-anak ini dibiarkan mencari kesibukan sendiri. Harapannya, mereka ikut ke majelis taklim, meramaikan Ramadan dalam balutan ritual keagamaan. Sayangnya, dunia sudah berubah. Cara-cara lama yang diwariskan tanpa inovasi tak lagi memikat. Dakwah yang monoton, kajian yang kaku, serta aturan yang lebih menyerupai pagar berduri ketimbang ajakan, semakin menjauhkan mereka. Boring. Dan dalam kebosanan itu, mereka menemukan keseruan di tempat lain.

Fenomena ini seharusnya membuat kita berpikir mengapa cara-cara lama masih dipaksakan. Mengapa Ramadan hanya didefinisikan dalam batasan yang kaku. Mungkin bagi generasi tua, tarawih dan ceramah di masjid sudah cukup membangkitkan gairah spiritual. Tapi bagi anak muda Itu seperti dipaksa makan menu yang sama setiap hari selama sebulan penuh—tanpa garam, tanpa penyedap rasa. Haruskah kita heran kalau mereka memilih menu lain, meski itu berarti terjerumus dalam kenakalan

Lalu, apa solusinya Berhentilah menyalahkan remaja semata. Ramadan harus dikemas ulang agar relevan dengan zaman. Tak perlu membuang tradisi lama, tapi tambahkan inovasi yang bisa menarik minat mereka. Rangkul anak-anak muda, ajak mereka merancang kegiatan Ramadan yang mereka sukai. Jika mereka suka musik, buat festival nasyid atau lomba cover shalawat yang kompetitif. Jika mereka suka teknologi, buat tantangan Ramadan berbasis media sosial. Jika mereka suka olahraga, adakan turnamen futsal malam dengan konsep Islami. Kenakalan tidak akan hilang hanya dengan memberi ceramah panjang tentang dosa, tapi dengan memberi ruang bagi kreativitas mereka.

Para tokoh agama juga harus berhenti merasa cukup dengan format dakwah yang ada. Metode dakwah yang stagnan membuat agama terasa eksklusif dan tidak relevan bagi anak muda. Saatnya keluar dari pola pikir bahwa hanya ada satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Ramadan bukan sekadar ibadah individual, tapi juga momentum membangun ekosistem sosial yang sehat bagi remaja.

Lalu pertanyaan terakhir apakah kita, generasi tua, siap sedikit mengalah? Apakah kita bersedia mengubah cara, memberikan ruang, dan membiarkan mereka berpartisipasi dalam Ramadan dengan cara yang mereka pahami. Atau kita tetap bersikukuh bahwa cara kita adalah satu-satunya jalan menuju surga, sementara mereka yang tak mengikuti dianggap sesat dan liar.

Ramadan ini akan menjadi bulan keberkahan atau bulan yang dipenuhi sirine ambulans—itu tergantung pada kita semua. Ramadan bukan hanya milik para orang tua dan ahli ibadah, tapi juga milik mereka, generasi yang sedang mencari jalannya sendiri. Dan jika kita tidak mau mereka tersesat, maka tugas kita bukan hanya menunjuk arah, tapi juga berjalan bersama mereka.[]


Post Views: 49



Source link

TERKINI

EDUKASI