Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Betapa luar biasanya keheningan yang dapat dipertontonkan begitu anggun di panggung global. Tragedi pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Muhammad Al-Jolani di Suriah disambut dengan kebungkaman yang nyaris memesona. Betapa bijaknya dunia memilih menutup mata dan menahan lidah. Untuk apa repot-repot berbicara, jika diam justru dianggap sebagai bentuk kesalehan yang lebih elegan?
Realitas yang Tak Layak Diberitakan
Sejak Desember 2024, ketika kelompok pemberontak pimpinan Abu Muhammad Al-Jolani menguasai Damaskus, minoritas—terutama komunitas Alawi—menjadi sasaran kekerasan sektarian yang semakin memburuk. Puncak tragedi ini terjadi antara 10–14 Maret 2025—tentu saja, bukan sebagai berita utama. Mengapa harus mengusik kenyamanan dunia dengan realitas yang menyakitkan?
Menurut laporan SOHR per Maret 2025, lebih dari 1.225 jiwa—termasuk perempuan dan anak-anak—menjadi korban dalam serangkaian serangan yang dituduh sebagai bagian dari kekerasan sektarian. Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB untuk Suriah (UN COI) turut mengonfirmasi meningkatnya kekerasan di Tartus dan Latakia.
Namun, respons dunia tetap dingin—tanpa guncangan, tanpa kegaduhan. Sebagai dua aktor utama di kawasan, Turki dan Arab Saudi memiliki kepentingan geopolitik yang kompleks di Suriah, yang kerap membuat respons mereka terhadap krisis kemanusiaan di negara tersebut tampak ambigu. Beberapa analis, seperti yang dikemukakan oleh Middle East Institute, menyebut bahwa faktor stabilitas domestik dan hubungan dengan Barat menjadi pertimbangan utama kebijakan mereka. Sementara itu, di berbagai belahan dunia, umat Islam dengan khusyuk menggelar doa bersama. Aksi nyata? Ah, tentu itu tugas orang lain!
Pembenaran Kekejaman: Ritual yang Tak Pernah Usang
HTS kembali menggunakan retorika sektarian dalam upaya memperkuat basis pendukungnya, sebuah pola yang telah berulang dalam konflik Suriah. Mengapa harus repot-repot mencari dalih baru, jika retorika lama masih berfungsi dengan baik? Narasi bahwa lawan mereka adalah kaum “menyimpang” terus dijadikan bahan bakar untuk merekrut pejuang baru.
Ada ironi yang mencolok: HTS memilih bungkam terhadap agresi Israel di Suriah. Apakah mereka terlalu sibuk? Ataukah ada sesuatu yang lebih menarik di balik tirai tebal ini?
Sementara itu, Israel terus melancarkan serangan udara dengan dalih menargetkan milisi yang didukung Iran. Namun, diamnya HTS terhadap serangan-serangan ini mengundang tanda tanya besar. Apakah ada perjanjian tak tertulis antara mereka? Ataukah musuh sebenarnya bukan seperti yang mereka gembar-gemborkan?
Investigasi atau Parodi?
Dalam pertunjukan teatrikal yang nyaris layak masuk nominasi Oscar, Al-Jolani mengumumkan pembentukan komite investigasi internal untuk menyelidiki kejahatan pasukannya. Sungguh mengharukan: komite yang menilai dirinya sendiri! Kejujuran dan transparansi di tangan mereka yang berlumuran darah.
Sejarah membuktikan: investigasi semacam ini jarang menghasilkan keadilan. Tapi, siapa peduli? Yang penting, ilusi keadilan tetap terjaga.
Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB pun tak mau kalah dalam permainan ini. Mereka menggelar pertemuan darurat, seperti biasa, yang berakhir dengan… ya, dengan apa? Dengan pernyataan keprihatinan yang sudah terlalu sering diulang. Amnesty International dalam laporannya menyoroti betapa dunia internasional tampaknya lebih nyaman menjadi penonton daripada bertindak nyata.
Warisan Keheningan
Dari semua ini, kita belajar satu hal: kejahatan selalu dapat diselubungi dengan kemasan agama dan politik. Retorika agama terus digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan, meskipun nilai kemanusiaan justru terabaikan. Para pelaku kekerasan berbicara tentang iman, tetapi hati mereka kosong dari belas kasihan.
Sejarah telah berulang kali memberi kita pelajaran, tetapi tampaknya kita lebih suka mengulang kesalahan yang sama. Imam Ali a.s. pernah berkata: ‘Manusia terbagi dalam dua golongan: saudaramu dalam iman atau saudaramu dalam kemanusiaan.’ Sayangnya, dalam realitas politik global, nilai-nilai ini sering kali hanya menjadi kutipan manis di buku, tanpa pernah dihidupkan dalam tindakan.
Kini, pilihan ada di tangan kita: membiarkan sejarah berlalu dalam kebungkaman, atau menorehkannya dengan keberanian? []
*Referensi
1. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR). (2025). Laporan Korban Sipil dalam Konflik Suriah.
2. United Nations Independent International Commission of Inquiry on the Syrian Arab Republic (UN COI). (2025). Temuan Terbaru tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Suriah.
3. Amnesty International. (2025). Suriah: Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Terus Berlanjut.
4. Al Jazeera. (2025). Serangan Udara Israel di Suriah dan Permainan Kekuatan Regional.
5. Carnegie Middle East Center. (2025). Peran HTS dalam Konflik Suriah.
6. Middle East Institute (MEI). (2025). HTS dan Masa Depan Oposisi Suriah.
Post Views: 17