Ahlulbait Indonesia – Dalam sejarah cahaya yang membentang di ufuk keilmuan Islam, nama Imam Ja‘far Shadiq a.s. bersinar laksana matahari yang tak pernah padam cahayanya. Keutamaannya dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan bukan hanya diakui oleh para pencari kebenaran di sekitarnya, namun juga oleh dunia Islam dari masa ke masa. Dari arah timur hingga barat, para penuntut ilmu datang dengan hati yang rindu dan pikiran yang dahaga, mengelilingi Imam seperti lebah mengelilingi bunga. Diriwayatkan bahwa jumlah murid beliau mencapai empat ribu jiwa, masing-masing membawa pulang setetes hikmah dari samudra ilmu Ahlulbait.
Dari lisan suci Imam mengalir hadis-hadis yang menjadi pelita para fuqaha, mengurai hukum dan menyingkap rahasia syariat. Murid-muridnya, dengan penuh ketekunan dan rasa hormat, mengabadikan ajarannya dalam ratusan kitab yang tersebar di pelbagai cabang ilmu dan sastra. Tak hanya terbatas pada ilmu agama seperti fiqh, tafsir, dan hadis, Imam Ja‘far Shadiq a.s. pun membuka tabir ilmu-ilmu alam seperti matematika dan kimia—mengajarkannya dengan kedalaman seorang arif dan kejernihan seorang guru sejati.
Salah seorang muridnya yang paling masyhur adalah Jabir bin Hayyan al-Tusi, ilmuwan agung yang dikenal sebagai peletak dasar ilmu kimia dalam peradaban Islam. Di bawah naungan bimbingan Imam, Jabir menulis hingga empat ratus kitab, yang masing-masing menjadi saksi atas keluasan ilmu sang Imam dan kemuliaan akhlaknya.
Ini bukan sekadar catatan sejarah; ini adalah kenyataan yang hidup dalam hati umat. Para ulama besar Islam, generasi demi generasi, telah dan akan selalu berutang budi kepada Ahlulbait Nabi, sumber mata air ilmu, hikmah, dan cahaya hidayah.
Imam Ja‘far Shadiq a.s. tidak hidup untuk kekuasaan, tidak pula untuk kemegahan dunia. Hidupnya dipersembahkan seutuhnya untuk menyebarkan risalah Rasulullah SAW dan menegakkan jalan para Nabi. Beliau adalah lentera dalam gelap zaman, yang disinari oleh ilmu dan kasih sayang. Keikhlasannya mengajar, kebeningan jiwanya dalam berdakwah, membuat hati manusia tertarik padanya, menghormatinya, mengelilinginya dengan cinta dan takzim.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam sejarah orang-orang suci, cahaya kebenaran kerap menyilaukan mata para tiran. Popularitas Imam yang kian membuncah menebar rasa takut di hati penguasa zalim, Mansur Dawaniqi. Iri, dengki, dan ketamakan menguasai dirinya, hingga ia memutuskan untuk memadamkan cahaya itu. Ia lupa, bahwa cahaya dari langit tak pernah padam hanya karena hembusan angin dunia. []
Sumber: diadaptasi dari kitab “Peri Kehidupan 14 Manusia Suci” (Penerjemah Ansariyan)