Oleh: Ustadz Sayyid Abdullah Assegaff
Ahlulbait Indonesia – Kita sering tahu mana yang baik dan bermanfaat, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Kita sadar bahwa membantu sesama, terlibat dalam kegiatan sosial, atau menghadiri pengajian rutin adalah bagian dari ibadah yang memperkuat keimanan sekaligus mempererat persaudaraan. Namun, sering kali kesadaran itu tidak terwujud dalam tindakan. Kenapa? Karena perubahan selalu menuntut pengorbanan kenyamanan.
Ambil contoh kegiatan gotong royong membersihkan masjid, atau menjadi relawan dalam pembagian sembako bagi kaum dhuafa. Banyak dari kita yang tahu bahwa itu adalah amal jariyah, pahala yang terus mengalir. Tapi saat waktunya tiba, ada saja alasan: sibuk, lelah, atau ingin beristirahat di rumah. Padahal kesadaran sudah ada, hanya belum cukup kuat untuk menundukkan rasa enggan dalam diri.
Inilah konflik yang sering tak terlihat, antara hati yang tahu dan tubuh yang enggan bergerak. Kita tahu shalat berjamaah itu lebih utama, bahwa menghadiri majelis ilmu itu mengangkat derajat, bahwa membantu sesama itu menyucikan jiwa. Tapi kesadaran itu tak selalu diikuti tindakan, karena hidup dalam zona nyaman terasa lebih ringan daripada melangkah ke arah perubahan.
Baca juga : Keutamaan Malam dan Siang Hari Jumat
Padahal, aktivitas sosial keagamaan bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga bagi diri kita sendiri. Ia membentuk kepedulian, melatih keikhlasan, dan menjadi ladang amal yang tak ternilai. Maka, perlu keberanian untuk menjembatani kesadaran dan aktivitas—untuk memilih bergerak, menuju kebaikan yang nyata.
Iman bukan hanya tentang mengetahui, tapi juga tentang melakukan.
أَيُّهَا النَّاسُ الْمُجْتَمِعَةُ أَبْدَانُهُمْ الْمُخْتَلِفَةُ أَهْوَاؤُهُمْ كَلَامُكُمْ يُوهِي الصُّمَّ الصِّلَابَ وَفِعْلُكُمْ يُطْمِعُ فِيكُمُ الْأَعْدَاءَ تَقُولُونَ فِي الْمَجَالِسِ كَيْتَ وَكَيْتَ فَإِذَا جَاءَ الْقِتَالُ قُلْتُمْ حِيدِي حَيَادِ مَا عَزَّتْ دَعْوَةُ مَنْ دَعَاكُمْ وَلَا اسْتَرَاحَ قَلْبُ مَنْ قَاسَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang fisiknya bersama tapi pikirannya berbeda-beda. Kalian pandai berbicara sampai bisa mengguncang batu yang keras, tapi tindakan kalian justru membuat musuh berani melawan kalian. Di dalam pertemuan kalian bicara macam-macam, tapi saat peperangan tiba, kalian malah berkata: ‘Kami netral saja!’ Seruan siapa pun kepada kalian tidak pernah berwibawa, dan orang yang pernah bersusah payah menghadapi kalian pun tidak pernah merasa tenang.” []
Ustadz Abdullah Assegaf adalah anggota Dewan Syura ABI
Baca juga : Perjalanan Terakhir Imam Ali Menuju Masjid