Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Konflik antara Hizbullah dan Israel telah lama menjadi bagian dari ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Namun, wawancara terbaru Sekretaris Jenderal Hizbullah, Syeikh Naim Qassim, dengan jaringan televisi Al-Manar yang diterbitkan pada Minggu, 9 Maret 2025 menghadirkan dimensi baru dalam dinamika Perlawanan. Pernyataannya, terutama terkait serangan yang mencapai kediaman Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memberikan wawasan mendalam mengenai perubahan strategi Hizbullah, dampak geopolitiknya, serta konsekuensi jangka panjang bagi keseimbangan kekuatan di kawasan.
Serangan ke Rumah Netanyahu: Simbolisme dan Efek Strategis
Serangan drone di kediaman Netanyahu yang terjadi pada Sabtu, 19 Oktober 2024, diakui oleh Hizbullah sebagai bagian dari strategi perlawanan baru. Peristiwa ini bukan hanya insiden militer, tetapi juga sebuah pesan politik dan strategis yang menandai perubahan dalam postur pertahanan dan ofensif Hizbullah. Israel, yang selama ini dikenal dengan sistem pertahanan udara canggih seperti Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow Defense System, menghadapi kenyataan bahwa ada celah dalam sistem keamanannya.
Bagi Hizbullah, serangan ini bukan sekadar aksi ofensif, tetapi sebuah deklarasi bahwa mereka memiliki kapasitas untuk menargetkan pusat-pusat kekuatan Israel, bahkan di tingkat kepemimpinan tertinggi. Dalam wawancaranya, Syeikh Qassim menegaskan bahwa keberhasilan ini menunjukkan peningkatan kemampuan Perlawanan dan komitmen Hizbullah untuk terus memperkuat posisinya di kawasan.
Dari perspektif Israel, serangan ini juga mengindikasikan bahwa ancaman dari kelompok Perlawanan tidak lagi terbatas pada serangan sporadis di perbatasan Lebanon-Israel, tetapi telah berkembang menjadi strategi yang lebih presisi dan ofensif. Ini bisa menjadi pemicu bagi Israel untuk meningkatkan serangan balasan, yang berpotensi memperburuk eskalasi konflik di Timur Tengah.
Dimensi Dukungan Regional: Iran dan Irak dalam Peta Konflik
Dalam wawancaranya, Syeikh Qassim juga menyoroti pentingnya dukungan regional, khususnya dari Iran dan Irak, dalam memperkuat Perlawanan terhadap Israel. Kedua negara ini telah lama menjadi bagian dari Poros Perlawanan, aliansi informal yang mencakup berbagai kelompok perlawanan yang memiliki tujuan bersama dalam menentang kebijakan Israel dan Amerika Serikat di kawasan.
Dukungan Iran terhadap Hizbullah bukanlah hal baru, namun konteks terbaru menunjukkan peran yang semakin strategis. Meskipun Iran menghadapi tekanan politik dan ekonomi dari sanksi Barat, kehadiran masyarakat Iran dalam prosesi pemakaman pemimpin Hizbullah menunjukkan tingkat solidaritas yang tinggi. Ini juga menegaskan bahwa Iran tetap menjadi aktor kunci dalam menopang kekuatan Hizbullah, baik dalam aspek militer, maupun ideologi.
Sementara itu, Irak, melalui Pasukan Mobilisasi Populer (Al-Hashd Al-Shaabi), juga disebutkan dalam wawancara sebagai kekuatan penting dalam Perlawanan. Pasukan ini, yang memiliki pengaruh besar dalam politik dan keamanan Irak, telah berulang kali menyatakan dukungan terhadap Hizbullah, menandakan bahwa dinamika konflik Israel-Hizbullah tidak lagi terbatas pada Lebanon, tetapi memiliki dampak regional yang luas.
Dengan adanya dukungan kuat dari Iran dan Irak, Hizbullah bukan lagi sekadar aktor lokal, melainkan bagian dari jaringan Perlawanan yang lebih luas, yang beroperasi dengan strategi koordinatif lintas batas negara.
Stabilitas Internal Hizbullah dan Kepemimpinan yang Tangguh
Salah satu poin menarik dalam wawancara Syeikh Qassim adalah bagaimana Hizbullah tetap solid meskipun menghadapi kehilangan pemimpin utama. Ia menekankan bahwa transisi kepemimpinan berjalan dengan cepat dan terstruktur, tanpa gangguan signifikan dalam operasional kelompok.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Hizbullah telah membangun sistem kepemimpinan yang berbasis institusional, bukan hanya karismatik dan personal. Dengan kata lain, meskipun tokoh-tokoh utama gugur syahid dalam konflik, sistem kepemimpinan mereka tetap mampu mempertahankan stabilitas organisasi dan kesinambungan strategi.
Lebih jauh, pernyataan Syeikh Qassim bahwa Hizbullah mampu mengendalikan situasi dalam 10 hari setelah serangan menunjukkan tingkat kesiapan operasional yang tinggi. Ini membuktikan bahwa kelompok ini telah mengantisipasi skenario terburuk dan memiliki mekanisme yang efektif dalam menghadapi eskalasi.
Implikasi bagi Israel: Tantangan terhadap Keunggulan Militer
Serangan Hizbullah yang menembus keamanan Israel dan mencapai kediaman Netanyahu, jelas menimbulkan pertanyaan mendalam tentang efektivitas strategi pertahanan Israel. Selama ini, Israel mengandalkan superioritas teknologi dan keunggulan militernya untuk menangkal ancaman dari aktor non-negara seperti Hizbullah.
Namun, serangan ini menunjukkan bahwa Perlawanan yang terorganisir dengan baik dapat menembus lapisan pertahanan yang selama ini dianggap tidak dapat ditembus. Ini jelas menjadi pukulan psikologis bagi kepemimpinan Israel dan memicu debat internal mengenai bagaimana rezim penjajah itu harus merespons ancaman asimetris yang semakin kompleks.
Di sisi lain, jika Israel memilih untuk merespons dengan serangan militer besar-besaran, risiko eskalasi ke konflik regional yang lebih luas akan meningkat. Hal ini berpotensi menarik Iran, Irak dan Yaman lebih dalam ke dalam konflik, yang dapat mengubah keseimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Menuju Eskalasi atau Negosiasi?
Wawancara Syeikh Qassim menggambarkan bahwa Hizbullah tidak hanya melihat serangan ini sebagai aksi Perlawanan, tetapi juga sebagai sinyal atas kemajuan kemampuan militer mereka. Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan, pertanyaan utamanya adalah apakah konflik ini akan terus meningkat atau membuka ruang bagi negosiasi?
Dari sudut pandang Israel, pilihan untuk meredakan ketegangan atau meningkatkan serangan akan sangat bergantung pada dinamika politik domestik dan dukungan dari sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat. Jika respons Israel terlalu agresif, ada risiko eskalasi konflik yang lebih luas. Namun, jika mereka gagal merespons dengan tegas, kredibilitas pertahanan mereka bisa dipertanyakan.
Bagi Hizbullah, dari wawancara ini menunjukkan bahwa Hizbullah tidak hanya bereaksi terhadap serangan Israel, tetapi juga memiliki inisiatif strategis. Hizbullah siap untuk konfrontasi jangka panjang dan tidak menunjukkan indikasi akan melemah dalam waktu dekat.
Wawancara Syeikh Naim Qassim memberikan wawasan penting tentang bagaimana Hizbullah memposisikan dirinya dalam konflik yang terus berkembang.
Serangan ke rumah Netanyahu bukan sekadar aksi militer, tetapi bagian dari strategi yang lebih luas untuk menunjukkan kekuatan dan menguji batas pertahanan Israel.
Di sisi lain, dukungan dari Iran, Irak, dan bahkan Yaman menunjukkan bahwa Hizbullah bukan lagi aktor yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari aliansi perlawanan yang lebih luas di Timur Tengah.
Pertanyaannya kini adalah: Apakah konflik ini akan berujung pada negosiasi, atau justru semakin meningkat? Yang pasti, Perlawanan yang dilakukan Hizbullah bukan sekadar aksi militer, tetapi bagian dari pemain utama geopolitik yang lebih besar, di mana keseimbangan kekuatan terus berubah, dan setiap langkah memiliki konsekuensi yang jauh melampaui perbatasan Lebanon dan Israel.[]
Post Views: 23