Oleh: Ustadz Zahir Yahya
Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI)
Ahlulbait Indonesia – Imam Ali ar-Ridha a.s, lahir pada 11 Dzulqa’dah, sebuah hari yang menjadi bagian penting dalam kalender Islam. Momen-momen seperti ini merupakan kekayaan sejarah dan spiritual yang dapat dimanfaatkan untuk menguatkan relasi dan hubungan batin kita dengan para Imam Maksumin as.
Kehadiran Abadi Para Imam dalam Kehidupan Umat
Peristiwa suka dan duka yang berkaitan dengan kelahiran (wiladah) dan kesyahidan (syahadah) para Imam Maksum as tidak sekadar menjadi momen peringatan sejarah, melainkan merupakan kesempatan untuk menghadirkan sosok-sosok teladan tersebut dalam kehidupan nyata kita. Artinya, mereka tidak sekadar dikenang, tetapi harus menjadi contoh nyata dan sumber inspirasi dalam seluruh aspek kehidupan.
Tauhid sebagai Fondasi Keimanan dan Kepemimpinan Ilahi
Salah satu bentuk konkret dari keimanan kepada para Imam adalah keyakinan bahwa mereka merupakan manifestasi dari ajaran Islam yang utuh. Sebab, keimanan kepada mereka sejatinya merupakan keimanan kepada Islam itu sendiri. Jika iman senantiasa hidup dalam setiap zaman, maka para Imam pun akan terus hadir sebagai pembimbing ruhani yang abadi. Mereka bukanlah sosok historis semata, tetapi harus dihadirkan secara nyata dalam kehidupan kita; ajaran mereka menjadi panduan hidup dan penerang langkah kita.
Hadis Silsilah Emas: Puncak Otoritas Spiritual dan Intelektual
Salah satu warisan paling monumental dari Imam ar-Ridha as adalah riwayat yang dikenal sebagai silsilah dzahabiyyah (mata rantai emas). Riwayat ini disampaikan Imam ketika melakukan perjalanan paksa dari Madinah ke Khurasan. Saat tiba di Naisabur, kota para pelajar agama, Imam disambut oleh para ulama, ahli hadis, dan para penuntut ilmu. Di hadapan mereka, beliau diminta untuk meriwayatkan hadis dari kakeknya Rasulullah Saw, dan beliau pun menyampaikan sebuah hadis yang sangat istimewa.
Dalam riwayat itu, Imam berkata: “Aku mendengar dari ayahku, Imam Musa al-Kazhim, yang meriwayatkan dari ayahnya, Imam Ja’far as-Shadiq, dari ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin, dari ayahnya, Imam Husain, dari ayahnya, Imam Ali, dari kakekku Rasulullah Saw, dari Jibril, dari Allah SWT.”
Hadis tersebut menyampaikan sabda Allah: “Kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ adalah benteng-Ku. Siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku akan selamat dari siksa-Ku.” Namun, ketika hendak kembali, Imam menoleh ke belakang dan berkata: “Dengan syarat-syaratnya, dan aku salah satu dari syarat-syarat itu.” Artinya, Tauhid tidak cukup hanya dengan ucapan, tetapi juga memerlukan kecintaan dan pengakuan terhadap kepemimpinan Imam.
Dimensi Teologis Hadis: Tauhid dan Ketaatan Ilahiah
Riwayat ini sangat penting, baik dari sisi periwayatan maupun dari sisi isi kandungan teologisnya. Imam menekankan bahwa Tauhid adalah fondasi dari seluruh struktur iman. Ketika seseorang mengucapkan ‘tiada Tuhan selain Allah’, maka itu berarti tidak ada yang layak ditaati secara mutlak selain Allah. Segala bentuk ketaatan dalam hidup harus kembali kepada prinsip ini. Bahkan ketaatan kepada Rasulullah pun bukan karena pribadi beliau, tetapi karena perintah dari Allah. Selama tidak ada otoritas Ilahi yang memerintahkan ketaatan, maka tidak ada satu pun makhluk yang berhak ditaati mutlak.
Tauhid dan Imamah: Dua Pilar Kesempurnaan Iman
Apa yang disampaikan Imam ar-Ridha a.s, tersebut sejatinya sejalan dengan prinsip-prinsip utama dalam Al-Quran, seperti yang terdapat dalam QS. Fussilat: 30:
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka dan berkata: ‘Janganlah kalian takut dan bersedih hati, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepada kalian.”
Ayat ini menegaskan bahwa Tauhid sejati tidak cukup dengan pengakuan lisan, tetapi harus disertai dengan istiqamah atau konsistensi. Konsistensi itu berarti menjadikan Tauhid sebagai bingkai seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam relasi sosial, sikap politik, dan pilihan spiritual.
Konsistensi Tauhid dalam Jalan Imamah
Tauhid kepada Allah berkonsekuensi pada ketaatan kepada Rasulullah S.A.W. Menerima risalah adalah bentuk istiqamah. Demikian pula, menerima penerus risalah dalam bentuk Imamah juga bagian dari istiqamah. Artinya, menerima Allah sebagai Tuhan berarti menerima seluruh konsekuensi Tauhid, termasuk Risalah dan Imamah.
Keimanan kepada Allah menuntut kita untuk menerima segala bentuk perintah dan garis keturunan otoritas Ilahi. Imam ar-Ridha dalam hal ini menegaskan bahwa menerima Risalah Rasulullah Saw. adalah bentuk istiqamah, dan menerima para penerus risalah (para Imam a.s.) adalah konsekuensi logis dari komitmen Tauhid. Dengan demikian, Wilayah dan Imamah merupakan bagian tak terpisahkan dari Tauhid yang kita imani dan ikuti. []