Saat Barcode Jus Alpukat & Nasi Padang Jadi Mimpi Buruk Gedung Putih


Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Di antara barisan ancaman strategis yang kini meretakkan pilar-pilar dominasi Amerika Serikat; dari hipersonik China yang tak terkejar radar, rudal balistik Yaman yang menerobos tameng Iron Dome super cangih, hingga genosida di Gaza yang membakar reputasi moral Barat, muncul satu musuh baru yang tak kalah mengguncang jantung Washinton DC: QRIS dan GPN!.

Ya, kode batang mungil yang nempel di gerobak-gerobak jus alpukat dan banner warung nasi padang itu, kini resmi tercatat sebagai ancaman sistemik dalam laporan National Trade Estimate on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS. Kalau bukan karena dicetak dengan lambang elang botak, orang mungkin mengira ini hanya lelucon episode baru Black Mirror.

Namun, dalam era pasca-nalar yang dipimpin ulang oleh Donald Trump, di mana tarif dianggap lebih suci dari traktat internasional dan kedaulatan digital negara lain dianggap provokasi, selembar QR bisa berubah jadi peluru geopolitik. Bila dulu China bisa marah karena pisang Filipina, kini AS cemberut karena barcode lokal.

Keresahan Washington berawal dari keputusan Indonesia yang (berani) menetapkan standar nasional untuk transaksi digital yaitu QRIS dan mewajibkan kartu kredit pemerintah diproses lewat sistem domestik, GPN. Dua keputusan yang secara teknis wajar, namun secara politis menyakitkan: sebab bagi ‘Hansip Dunia’, setiap sistem yang tak bisa dimata-matai, otomatis dianggap membahayakan.

Laporan ‘The Office of the United States Trade Representative‘ (USTR) menyebut bahwa Indonesia tak “berkonsultasi dengan stakeholder internasional” dalam menyusun regulasi QRIS dan GPN. Terjemahan bebasnya: “Kenapa kami nggak dikasih jatah ikut ngatur dulu?” Seolah-olah setiap kebijakan nasional harus diserahkan dulu ke Silicon Valley untuk diuji kompatibilitasnya dengan laba Google, Visa, Mastercard, dan PayPal.

Dan tentu saja, label “diskriminatif” pun dilekatkan. Bukan karena rakyat Indonesia dirugikan, tapi karena perusahaan pembayaran AS tak bisa lagi menyedot komisi dari setiap transaksi nasi uduk dan pulsa elektrik.

Di dalam negeri, sejumlah ekonom menyarankan dialog “konstruktif”, istilah yang biasanya berarti: “Pemerintah perlu kasih paham Amerika soal manfaat QRIS dan GPN. Perlu menjelaskan bahwa kita tidak berniat memberontak, kita hanya ingin sedikit berdaulat.” Bahwa QRIS bukan alat sabotase global, bahwa GPN bukan infrastruktur teroris finansial.

Namun sesungguhnya, ini bukan sekadar soal sistem pembayaran. Ini tentang hak setiap negara untuk menata ekonominya tanpa harus meminta restu dari Washington. Tentang menolak penyusupan korporasi global ke dalam urat nadi transaksi harian rakyat. Tentang menempatkan kedaulatan di atas kenyamanan investor asing.

Betapa ironisnya, negara yang dengan bangga membangun tembok fisik di perbatasan Meksiko, kini protes karena Indonesia membangun tembok digital yang lebih sederhana: sistem pembayaran nasional. Ini seperti penjajah lama yang merajuk karena rakyat mulai pakai alfabet sendiri dalam surat kabarnya.

Justru bila QRIS dan GPN membuat Washington gelisah, maka kita tahu kita sedang berada di jalur yang tepat dan benar. Dalam dunia yang tengah menghindari jebakan dolarisasi dan hegemoni data Barat, inisiatif seperti ini adalah bentuk kecil namun nyata dari Perlawanan global.

Maka, Indonesia tidak boleh tunduk atau meminta ‘maaf’. Indonesia tidak boleh menawarkan revisi demi kenyamanan mereka. Bahkan, perluas lagi QRIS sampai ke Mekah, Tokyo, Bangkok, dan Lagos. Jadikan GPN bukan hanya alat transaksi, tapi simbol bahwa negeri ini tak sudi terus jadi lumbung laba korporasi asing.

Biarkan Trump menatap selembar kode QR dan segera menyadari bahwa imperialisme kini bisa ditolak bukan dengan embargo, tapi dengan infrastruktur digital berdaulat.

Karena dalam babak baru perang ekonomi ini, tak semua Perlawanan datang dari palu godam dan misil. Kadang, revolusi dimulai dari satu keputusan teknokratik yang tepat dan benar: mengatur arus uang sendiri.

Dan dari sanalah, dunia akan tahu: cukup dengan barcode lokal yang tak bisa dibaca oleh imperialisme finansial.[]

Referensi:
1. Bisnis, 18/2025: Negosiasi Tarif Trump, AS Turut Permasalahkan Penggunaan QRIS & GPN
2. Bisnis, 18/2025: Pemerintah Perlu Kasih Paham Amerika soal Manfaat QRIS dan GPN saat Nego Tarif Trump



Source link

TERKINI

EDUKASI