Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Dalam episode terbaru serial geopolitik berjudul “Kebohongan Berbulu Perdamaian”, Donald J. Trump kembali memukau jagat politik dengan caranya yang khas: memproklamasikan gencatan senjata, bukan lewat meja perundingan internasional, tapi lewat aplikasi media sosialnya sendiri, Truth Social.
Selasa, 24 Juni 2025, Trump mengumumkan bahwa telah terjadi “gencatan senjata penuh dan menyeluruh” antara entitas Zionis Israel dan Republik Islam Iran. Dengan gaya naratif yang lebih mirip cuplikan kampanye daripada dokumen diplomatik, pernyataan ini justru menyisakan lebih banyak teka-teki ketimbang kepastian. Tidak ada pengakuan dari Teheran. Tidak ada verifikasi dari Tel Aviv. Bahkan, keheningan mencurigakan justru menyelimuti kedua belah pihak yang diklaim telah berdamai.
“Ini adalah perang yang bisa menghancurkan seluruh Timur Tengah… tapi itu tidak terjadi, dan tidak akan pernah terjadi!” Donald J. Trump, Truth Social.
Pernyataan ini mengundang tanda tanya lebih dari tepuk tangan. Apakah ini deklarasi damai, atau justru siasat kampanye yang menyamar sebagai inisiatif perdamaian?
Diplomasi Gaya Kabaret
Jika diplomasi adalah seni menyembunyikan belati di balik senyuman, maka Trump telah mengubahnya menjadi pertunjukan kabaret, lengkap dengan tirai palsu dan naskah yang ditulis dengan tinta ego. Ia melempar pengumuman seperti pesulap melempar kartu, berharap dunia terkecoh oleh permainan tangan yang bahkan tak terlalu lihai.
Namun dunia Timur Tengah bukan panggung hiburan. Beberapa saat sebelum pengumuman tersebut, Republik Islam Iran melepaskan rudal-rudal hipersonik ke jantung entitas Zionis di Beersheba melalui serangan balistik presisi, disusul kemudian serangan rudal yang menghantam Pangkalan Udara Al-Udeid milik AS di Qatar. Serangan ke Pangkalan Udara Al-Udeid ini dilakukan dalam kerangka Operasi Besharat al-Fath, seperti diumumkan oleh Al-Alam pada Selasa (24/6).
Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) menyatakan jumlah rudal yang diluncurkan ke pangkalan militer Amerika Serikat Al-Udeid setara dengan total bom yang dijatuhkan AS ke tiga situs nuklir Teheran.
“Jumlah rudal yang digunakan dalam operasi sukses ini setara dengan jumlah bom yang digunakan AS dalam serangan di fasilitas-fasilitas nuklir Iran,” demikian pernyataan IRGC, seperti dikutip Tasnim News.
Ini bukan sekadar pembalasan. Ini adalah pesan strategis: bahwa pengendali dinamika medan perang bukan Washington, apalagi Tel Aviv, tapi Teheran.
Siapa yang Meminta Jeda? Dan Untuk Siapa Jeda Itu?
Dalam konteks ini, ketika Gedung Putih tiba-tiba berbicara soal “akhir perang”, pertanyaan yang lebih relevan adalah: siapa yang sebenarnya minta waktu? Dan untuk kepentingan siapa waktu itu diminta?
Sumber diplomatik regional menyebut Qatar sebagai mediator kunci. Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani yang memang sering berperan sebagai broker diplomasi regional, dilaporkan secara langsung dimintai tolong oleh Trump untuk menyampaikan proposal gencatan kepada pihak Iran, menurut Al-Mayadeen.
Namun Iran tidak menjawab dengan kata-kata. Iran menjawab dengan diam, dan dalam politik Timur Tengah, diam bukan kelemahan. Itu strategi. Dalam tradisi Perlawanan, diam bisa lebih menggelegar dari deklarasi. Di dunia tempat retorika mudah dibeli, sikap diam bisa berarti penolakan halus yang penuh perhitungan.
Israel: Bisu Bukan Karena Damai, Tapi Bingung
Sisi lain rezim Zionis pun ikut diam. Menurut laporan Ynet, media arus utama Israel, yang dikutip oleh Al Mayadeen, Perdana Menteri Netanyahu melarang seluruh kabinetnya memberi komentar soal pengumuman Trump.
Bagi pengamat diplomasi regional, ini bukan sikap tenang. Ini tanda panik yang belum menemukan narasi. Sebab Israel, sebagai entitas yang terbiasa mendominasi diskursus konflik, hanya bungkam dalam dua kondisi: ketika kalah, atau ketika belum siap mengakuinya.
Gencatan Ini, Perang yang Menyamar
Dalam sejarah panjang konflik Iran-Israel, setiap gencatan senjata hanyalah napas antar dentuman. Mengklaim bahwa ini “akhir perang” adalah berpura-pura tidak paham anatomi konfrontasi.
Dua motif utama di balik langkah cepat menuju gencatan ini patut dicurigai:
1. Upaya pengumpulan intelijen untuk menargetkan kepemimpinan kunci Perlawanan.
2. Penetrasi terhadap fasilitas strategis Iran, khususnya penyimpanan uranium, di bawah label “jeda kemanusiaan”, dan menyiapkan babak baru dari strategi Tekanan Maksimum.
Dengan kata lain, ini bukan gencatan senjata. Ini perang dalam mode senyap, diplomasi dalam bayangan misil yang belum ditembakkan.
Iran dan Kekuatan di Tengah Keterbatasan
Namun harus diakui, Iran juga bukan tanpa celah. Di balik keberhasilan operasi dan narasi, tantangan masih membayang:
1. Tekanan ekonomi internal,
2. Keretakan politik domestik di beberapa front sekutu,
3. Ancaman infiltrasi dan perang siber lintas batas.
Alih-alih melemahkan posisi, kesadaran akan keterbatasan ini justru memperlihatkan satu hal: Iran bukan menang karena tidak punya tantangan, tapi karena negara ini tahu cara hidup dan tumbuh di bawah tekanan.
Front Regional, Dari Lebanon ke Yaman
Dimensi kawasan yang lebih luas tak bisa dikesampingkan. Hizbullah di Lebanon tetap dalam status siaga penuh. Yaman, lewat Ansarullah, membuka kemungkinan serangan laut jika provokasi meningkat. Irak dan Hashd al-Shaabi juga terus mengaktifkan jaringan koordinasi.
Gencatan yang diumumkan Trump hanya menyentuh permukaan konflik. Di bawahnya, lava strategi regional terus bergerak.
Narasi Publik, Diam yang Bersuara
Di tengah euforia palsu ala Washington, warga Gaza tidak merayakan dengan kembang api, melainkan dengan shalat di atas reruntuhan. Di Teheran, anak-anak sekolah tetap diajarkan arti “istiqamah” lebih dari “diplomasi”. Dan di Najaf, doa-doa yang dipanjatkan bukan untuk kedamaian basa-basi, tapi untuk tegaknya keadilan dan runtuhnya penindasan.
Di sinilah konflik ini hidup. Bukan di podium Gedung Putih, tapi di jalan-jalan tempat darah dan harapan mengalir bersamaan.
Iran dan Soft Power
Perang ini menunjukkan bahwa Iran bukan lagi aktor regional biasa. Iran kini berada di jantung dinamika kawasan:
1. Soft power-nya telah diperlihatkan dengan kontrol narasi dan kalkulasi taktis.
2. Hard power-nya telah ditancapkan di medan perang dan belum ditarik mundur.
Dan pangkalan militer AS serta keberadaan Zionis di Tanah Palestina? Kini tidak lagi simbol kekuatan permanen, melainkan sisa sejarah yang sedang menuju keruntuhan.
Selamat Datang Peradaban Baru Islam
Inilah dunia baru yang sedang tumbuh, bukan di bawah bayang-bayang konferensi internasional atau dikte veto Dewan Keamanan, tetapi dari akar keteguhan, keberanian, dan konsistensi Perlawanan.
Di tengah denyut zaman yang kian mempercepat takdir sejarah, kemunculan Imam Zaman a.f bukan lagi sekadar harapan spiritual di kejauhan, melainkan realitas strategis yang semakin nyata dari balik cakrawala perubahan.
Sejarah kini tidak lagi menunggu penonton, melainkan memanggil para pelaku aktif. Maka pertanyaannya bukan lagi, kapan itu akan terjadi, tetapi…. di sisi mana Anda akan berdiri, ketika waktu itu benar-benar tiba? []