Ahlulbait Indonesia — Saat matahari mulai condong ke barat pada Selasa sore (24/6), Lapangan Enghelab di jantung ibu kota Iran berubah menjadi lautan manusia. Bendera-bendera nasional berkibar di tangan para warga, dari lelaki tua berwajah keras ditempa sejarah hingga anak-anak kecil yang memanggul poster bertuliskan “Labbaik ya Khamenei.” Hari itu, rakyat Teheran tidak hanya berkumpul, mereka bersaksi, bersuara, dan berdiri satu barisan di belakang Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran.
Dalam suasana yang diliputi semangat dan ketegangan, ratusan ribu orang dari berbagai latar belakang turun ke jalan, menjadikan alun-alun itu panggung rakyat untuk mengekspresikan dukungan terhadap pasukan Iran yang kini berada di garis depan konfrontasi militer dengan Israel. Seperti dilaporkan Tasnim News Agency, wajah-wajah di kerumunan tak hanya milik kaum lelaki; perempuan berjilbab rapat dan anak-anak berseragam sekolah turut hadir, seolah mewakili spektrum masyarakat yang luas yang merasa bahwa perang ini bukan hanya milik tentara, tetapi milik mereka semua.
Poster dan spanduk yang dibawa peserta menyampaikan pesan tegas: “Kami akan berdiri teguh sampai akhir”, “Amerika terlibat dalam semua kejahatan rezim Zionis”, “Tidak untuk perdamaian yang dipaksakan, ya untuk perdamaian abadi.” Slogan-slogan yang diteriakkan dengan serempak membelah udara kota: “Matilah Amerika,” “Matilah Israel si Pembunuh Anak.” Seruan ini bukan sekadar retorika; seruan itu mencerminkan akumulasi kemarahan, semangat kolektif, yang menyaksikan eskalasi kekerasan Zionis yang meningkat dari hari ke hari.
Namun di balik kemarahan dan kutukan kepada agresor, ada juga penghormatan. Massa tak lupa menyampaikan terima kasih secara terbuka kepada para penjaga republik: Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Tentara Nasional, pasukan Basij, hingga aparat penegak hukum. Nama-nama mereka disambut dengan tepuk tangan, nyanyian pujian, dan bahkan air mata sebagai lambang solidaritas terhadap mereka yang dianggap berdiri di benteng terakhir pertahanan tanah air.
Menambah kekuatan simbolik acara, Amir Abbasi, seorang qari dan orator religius ternama menaikkan suasana melalui lantunan syair-syair pujian dan ratapan revolusioner. Suaranya bergema di seluruh penjuru alun-alun, menciptakan jeda emosional dalam arus orasi politik yang membakar semangat.
Aksi besar ini bukan berlangsung dalam ruang hampa. Ia lahir dari ketegangan geopolitik yang memuncak: serangan udara Israel terhadap sasaran strategis di Iran, diikuti dengan respons militer dari Teheran yang menandai konfrontasi langsung. Di tengah kekhawatiran internasional akan konflik regional terbuka, rakyat Iran justru menegaskan kesatuan mereka.
Lapangan Enghelab hari itu bukan sekadar ruang publik. Lapangan itu menjadi cermin keteguhan politik dan emosional sebuah bangsa. Di sanalah, dalam pekikan ribuan suara, Iran menunjukkan bahwa konflik ini bukan hanya soal misil dan diplomasi, tetapi juga tentang identitas, martabat, dan tekad kolektif yang terus menyala. []