Kita Telah Memasuki Bulan yang Penuh Duka


Ahlulbait Indonesia – Muharram telah datang. Namun bukan kegembiraan tahun baru yang menyambut kita, melainkan udara yang sarat kesedihan, dan langit yang seolah menunduk dalam keheningan. Inilah bulan yang setiap hembus anginnya mengandung kisah kepiluan, menggugah hati siapa saja yang masih memiliki nurani. Muharram bukan hanya angka dalam penanggalan Hijriyah, tetapi musim duka yang membuka kembali lembaran luka paling menyayat dalam sejarah kemanusiaan.

Di bulan inilah, lebih dari 14 abad silam, darah kesucian tumpah di padang Karbala. Seorang cucu Nabi, Imam Husain a.s.—putra Imam Ali a.s. dan Sayidah Fatimah Zahra a.s.—berdiri dalam kesendirian yang agung. Di hadapannya, pasukan penguasa zalim mengepung, haus kekuasaan, buta akan kebenaran, tuli terhadap seruan moral dan tauhid. Namun Husain tidak gentar. Ia tidak mencari kemenangan duniawi. Ia berdiri demi prinsip, demi menyelamatkan makna agama yang telah dibajak oleh ambisi kekuasaan dan kerakusan dinasti.

Tragedi Karbala bukan hanya cerita tentang sebuah pembantaian keluarga Nabi. Karbala adalah peristiwa yang mengguncang langit sejarah dan menorehkan pesan abadi: bahwa diam terhadap kebatilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap misi kenabian. Imam Husain tidak datang membawa senjata untuk merebut kekuasaan. Imam membawa suara kebenaran untuk menyadarkan umat yang telah lama tertidur. Imam datang dengan cahaya, bukan dengan hasrat. Maka darahnya menjadi nyala yang tak pernah padam, menjadi obor yang menerangi jalan pencari kebenaran hingga hari ini.

Gerakan Imam Husain a.s. adalah puncak dari perjuangan para Nabi. Seperti Nabi Musa melawan Fir’aun, seperti Nabi Ibrahim menentang Namrud, demikian pula Imam Husain berdiri menantang tirani yang mengaku Islam, namun menghancurkan ruh Islam itu sendiri. Karbala menjadi titik temu antara nilai-nilai langit dan kenyataan bumi, antara prinsip ilahi dan nafsu duniawi, antara keadilan dan kebengisan. Dan di titik inilah, sejarah tak lagi bersifat netral. Ia berpihak—pada darah yang tertumpah, pada bayi yang kehausan, pada kepala suci yang dihunus dari tubuhnya.

Para pecinta Ahlul Bait pun mengenang bulan ini bukan sekadar dengan ritual, melainkan dengan rasa kehilangan yang dalam. Setiap tangisan, setiap majlis, setiap syi’ar adalah ungkapan cinta sekaligus tanggung jawab sejarah. Karena tragedi Karbala bukan hanya warisan emosional, tetapi amanah intelektual dan spiritual yang harus terus dijaga. Bahwa Islam hari ini masih hidup bukan semata karena pedang para pemenang, tetapi karena darah para syuhada—karena Husain as.

Kita hidup di zaman yang penuh tantangan moral, di mana kebatilan kembali mengenakan topeng kebenaran. Maka, Karbala bukan hanya masa lalu. Karbala adalah cermin yang masih relevan, menggugat kita dengan satu pertanyaan yang tak bisa dihindari: di sisi mana engkau akan berdiri ketika kebenaran kembali dipertaruhkan?

Disadur dari: MadinahAlHikmah.net



Source link

TERKINI

EDUKASI