Oleh: Taufiqurrahman al-Azizy
Ahlulbait Indonesia – Hari ini, di ruang rapat tertutup Tel Aviv, bisa jadi para pemimpin Zionis masih menggerutu dan gentar, menyimpan kecemasan akibat kehancuran signifikan dari gempuran rudal dan drone Iran. Bisa jadi, Benjamin Netanyahu menyesali kerugian yang mencapai angka 5 miliar dolar AS—sebagaimana dilaporkan sejumlah media Zionis Israel—akibat serangan Iran tersebut.
Di tanah air, angka sebesar itu bukan hanya deretan digit di laporan keuangan, melainkan daya hidup. Nilai 5 miliar dolar setara dengan lebih dari 80 triliun rupiah, yang dapat digunakan untuk membiayai proyek jalan tol sepanjang 800 kilometer, membangun dua bandara besar dan modern, membangun pelabuhan, rel kereta api, membangun hingga 80.000 sekolah baru, dan menggratiskan biaya jutaan siswa SD – SMA selama bertahun-tahun. Tapi bagi Israel, angka fantastis itu terbakar dalam waktu tak lebih dari dua pekan. Dan mungkin karena alasan itulah, rejim Israel lebih memilih mengajukan gencatan senjata, daripada terus meladeni Iran dalam medan tempur yang makin tak seimbang.
Ketimbang Israel yang penuh penyesalan, Iran tampaknya tak kalah menanggung luka. Kerugian ekonomi, korban jiwa, dan ketegangan diplomatik mereka alami pula. Tapi Iran, sebagai bangsa, tampaknya tidak mengenal kata menyerah dalam makna yang biasa kita pahami. Mereka tidak menjadikan kerugian sebagai beban untuk mundur. Jangan bicara tentang kemiskinan dan kelaparan kepada mereka, sebab mereka adalah “putra-putra Ramadhan.” Jangan menakut-nakuti mereka dengan kematian, sebab mereka adalah “putra-putra Muharram.” Keteguhan itu yang membuat dunia bergeming. Gencatan senjata mungkin hanyalah siasat culas Israel dan sekutunya di Washington, demi menghindari kerugian yang semakin membesar sambil menyusun ulang strategi dan memupuk kembali kapital yang mulai kering.
Namun, sementara mereka menghitung uang yang hilang, siapa yang menghitung nyawa anak-anak Gaza yang gugur hari ini?
Dan dunia? Dunia hanya menatap. Ketika Iran benar-benar membalas Israel, banyak yang mendadak bisu, termasuk beberapa pemimpin Arab dan Muslim. Mereka, yang dulu bersorak di jalan dengan bendera Palestina, kini menuduh Iran memprovokasi, bahkan mencurigai niatnya. Lidah-lidah yang dulu fasih mengecam Israel, kini kelu di hadapan kenyataan bahwa satu-satunya bangsa yang berani membalas Israel secara langsung adalah Iran.
Sementara peluru dan drone berseliweran di atas Tel Aviv dan Isfahan, Gaza tetap dihujani mesiu, seolah tak pernah ada jeda. Serangan udara terbatas, katanya. Operasi terbatas terhadap Hamas, katanya. Tapi di balik istilah-istilah militer itu, nyawa tetap melayang, dan tanah Palestina tetap dijarah. Bahkan ketika dunia menyebutnya gencatan senjata, rakyat Gaza tak pernah benar-benar merasakan damai.
Hari ini, bayi-bayi Gaza kehabisan susu formula. Hanya beberapa kaleng tersisa di jalur yang panjangnya hanya 40 km itu. Satu ayah keluar mencari bantuan—menuju pusat distribusi yang katanya bantuan, tapi dijaga tentara Zionis. Ia kembali, bukan dengan susu, tapi dalam keadaan tak bernyawa. Ditembak. Dibunuh. Dirampas hak paling dasar sebagai manusia—mencari makanan untuk anaknya.
Apakah ini sekadar angka dalam laporan media? Atau kita masih memiliki hati untuk menyebutnya sebagai dosa dunia yang terus berulang?
Membayangkan bahwa Israel akan berhenti menjajah Palestina hanya karena sibuk menghadapi Iran adalah mimpi kosong. Fakta berkata sebaliknya: Israel tidak akan berhenti, bahkan jika dunia runtuh. Mereka tidak sedang berperang dengan Hamas saja, atau Iran saja. Mereka berperang melawan eksistensi bangsa Palestina itu sendiri.
Perundingan hanyalah panggung sandiwara. Gencatan senjata hanyalah strategi. “Operasi terbatas” hanyalah topeng dari agresi yang tak pernah mengenal batas. Seratus tahun? Mungkin lebih. Tapi selama bendera Zionis masih berdiri di atas reruntuhan rumah warga Gaza, mereka tidak akan berhenti.
Israel tidak pernah berniat berdamai. Sejak 1948 hingga hari ini, mereka hanya mengenal satu bahasa: ekspansi. Perundingan damai? Hanya alat untuk mengulur waktu. Gencatan senjata? Kesempatan untuk memulihkan kekuatan. Operasi terbatas? Istilah halus untuk pembunuhan massal. Mereka tidak berperang melawan Hamas. Mereka berperang melawan eksistensi Palestina itu sendiri.
Pertanyaan yang menyayat nurani kini mengemuka:
Haruskah dunia menunggu perang besar kedua agar Tel Aviv kembali terbakar, demi agar Gaza bisa bernafas barang sehari? Haruskah darah terus mengalir di dua arah—Iran dan Israel—demi menghentikan satu genosida yang sejak lama dibiarkan? Jika bukan Iran, bangsa mana lagi yang berani menghadapi Israel dengan nyata, bukan hanya dengan spanduk, nyanyian jalanan, atau kutipan ayat-ayat tentang pembebasan?
Maka kini kita kembali pada suara paling jujur dari perang ini: suara anak-anak Gaza. Mereka, yang kehilangan rumah dan keluarga. Mereka, yang satu-satunya mimpi hari ini hanyalah segelas susu dan tempat yang tidak dibom.
Mereka tetap ditindas, tetap dibungkam, tetap ditumpahkan darahnya. Dan dunia tetap menonton. Dunia tetap hanya menangis, mengeluh, bersimpati—tanpa daya. Pemerintah-pemerintah Islam tetap memilih diam demi “ketenteraman geopolitik”. Dan kita? Kita masih saja berdebat tentang kebenaran di balik cangkir-cangkir kopi, menyusun narasi demi narasi seolah itu cukup untuk menggantikan darah yang sudah ditumpahkan.
Tapi satu hal tetap abadi:
“Langit Gaza tidak membutuhkan belas kasihan. Ia hanya membutuhkan dunia yang tidak pengecut.”
Dan mungkin, hanya mungkin, darah anak-anak Gaza akan terus menuntut, bahkan setelah seluruh bom telah berhenti meledak. []
Taufiqurrahman al-Azizy, penulis dan novelis yang telah menerbitkan lebih dari 200 buku. Pemerhati isu sosial-politik dan media digital.