Oleh: Salman
Ahlulbait Indonesia – Sejarah adalah panggung yang tak pernah sunyi, memainkan drama yang sama dengan wajah-wajah baru. Karbala, peristiwa paling tragis di abad ke-7, bukan sekadar kisah masa lalu yang terkurung dalam lembaran-lembaran tua. Ia adalah cermin yang memantulkan perjuangan abadi antara kebenaran dan kebatilan, dari padang pasir Karbala hingga genosida di Gaza hari ini. Di setiap zaman, ada penindas yang mengenakan jubah kekuasaan, dulu dengan pedang, kini dengan bom dan narasi propaganda.
Dan selalu ada yang ditindas, seperti Husain a.s, dan rakyat Gaza, yang berdiri tegak meski dunia memalingkan muka. Lalu Kita? Kita dipaksa memilih: berpihak pada kebenaran atau, dengan sinis, menjadi penonton yang diam-diam membiarkan kezaliman berjalan.
Di Karbala, Yazid menghunus pedang untuk memenggal kebenaran. Di Gaza, penindasan datang dengan rudal, blokade, dan narasi media yang memutarbalikkan korban sebagai pelaku. Skripnya sama: kebenaran selalu jadi ancaman bagi penguasa, dan kebatilan selalu punya sponsor besar—entah kerajaan, negara, atau algoritma yang mengatur apa yang kita lihat di layar ponsel. Rakyat Gaza, seperti Husain a.s, bukan cuma melawan peluru, tapi juga kebisuan dunia. Dan di sinilah kita masuk, atau malah memilih untuk tidak masuk.
Jangan buru-buru merasa mulia hanya karena kita tahu cerita ini. Netralitas, yang kita anggap sebagai zona aman, adalah jebakan licik. “Saya tidak memihak,” kata sebagian dari kita, sambil mengganti kanal berita atau scrolling ponsel untuk mencari hiburan. Tapi Karbala dan Gaza mengajarkan bahwa diam bukanlah netral—ia adalah kawan dekat penindasan. Ketika rumah-rumah di Gaza runtuh dan anak-anak terkubur di bawah puing, kebenaran tak butuh anggukan simpati dari jauh. Ia butuh suara, tindakan, atau setidaknya keberanian untuk tidak menutup mata.
Gaza adalah Karbala zaman ini, dan kita sedang diuji: bersama Husain a.s, atau (sengaja atau tidak) merangkul Yazid.
Penindasan kini tak hanya soal darah dan pedang. Ia menyelinap dalam blokade yang memutus akses makanan dan obat-obatan, dalam narasi yang menyebut korban sebagai teroris, atau dalam budaya apatis yang membuat kita berpikir, “Ini bukan urusan saya.” Tapi Karbala dan Gaza berteriak: “Adakah yang akan menolongku?” ditengah-tengah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Kita, yang duduk jauh dari puing-puing Gaza, tetap punya peran. Tak perlu jadi pejuang bersenjata untuk menjelaskan posisi kita.
Sebuah tulisan, unggahan di media sosial, atau sekadar menolak diam saat kebohongan dihembuskan—itu sudah cukup untuk menegaskan kita ada di pihak mana.
Karbala dan Gaza adalah pengingat bahwa perjuangan kebenaran tak pernah usai. Setiap generasi dihadapkan pada pilihan yang sama: berdiri bersama yang tertindas atau, dengan kebisuan kita, memuluskan jalan bagi penindas.
Jadi, saat Gaza menangis di bawah bom dan dunia memilih untuk mengalihkan pandangan, kita pilih apa? Bersuara untuk kebenaran, atau tenggelam dalam keheningan yang nyaman.