ABI Dorong Regulasi Nasional untuk Jamin Kebebasan Beragama di FGD Imparsial


Jakarta, 30 Juni 2025 — Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Monitoring Implementasi atas Rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) Siklus Keempat terhadap Indonesia dalam Isu Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan” di Royal Kuningan Hotel, Jakarta, pada 30 Juni 2025. Forum ini menjadi ajang evaluasi kritis terhadap komitmen pemerintah pasca-UPR 2022, khususnya dalam pemenuhan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB).

Salah satu perwakilan yang aktif dalam diskusi adalah Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI), melalui Ketua Departemen Litbang, Dr. Sabara Nuruddin. Dalam penyampaiannya, Sabara menyoroti lemahnya perlindungan terhadap hak KBB di Indonesia dan mendesak agar disusun regulasi nasional berbentuk undang-undang yang menjamin secara substantif hak tersebut.

“Sudah saatnya masyarakat sipil bersatu untuk mendorong regulasi yang tidak hanya menjadi jargon, tetapi memberikan perlindungan nyata terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tegas Sabara.

Sabara juga mengkritisi praktik diskriminasi yang dilembagakan di tingkat daerah. Ia menyebut adanya surat edaran dari sejumlah pemerintah daerah yang secara eksplisit melarang ajaran Syiah dan Ahmadiyah. Kebijakan seperti ini, menurutnya, bertentangan dengan UUD 1945 serta prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia internasional.

“Ini bukan sekadar intoleransi sosial. Ini bentuk diskriminasi yang dilegalkan oleh negara. Dan itu berbahaya,” ujarnya.

Komitmen UPR yang Masih Minim Realisasi

Indonesia telah menjalani mekanisme UPR sebanyak empat kali, terakhir pada 2022. Dari 11 rekomendasi terkait langsung dengan KBB, pemerintah menyatakan menerima 10 dan hanya mencatat satu rekomendasi, yakni soal revisi legislasi nasional agar lebih menjamin perlindungan penuh sebagaimana diamanatkan Pasal 18 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights).

Namun, hingga kini belum tersedia indikator atau laporan transparan yang menunjukkan sejauh mana implementasi rekomendasi tersebut. Hal ini turut disoroti peserta lain, termasuk perwakilan Komnas HAM, Yayasan Satu Keadilan, SEJUK, INFID, IJABI, dan JAI, yang menyampaikan bahwa pelanggaran terhadap KBB masih terjadi di berbagai daerah.

Beberapa kasus pelanggaran yang disebutkan dalam diskusi antara lain:

– Penutupan masjid dan rumah ibadah milik Jemaat Ahmadiyah di Kota Banjar;
– Pembubaran seminar keagamaan di UIN Manado;
– Penolakan pembangunan rumah ibadah di Malang, Purwakarta, dan Cianjur;
– Pelarangan perayaan Natal oleh komunitas Kristen minoritas;
– Gangguan terhadap peringatan Asyura yang diadakan komunitas Syiah.

Sorotan Kritis dan Masalah Struktural

FGD yang difasilitasi oleh Zainal Abidin juga menyoroti sejumlah hambatan struktural, seperti:

– Minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan HAM seperti Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM);
– Penafsiran hukum yang bias oleh aparat dan pemerintah daerah terhadap kelompok minoritas;
– Tidak adanya mekanisme evaluasi dan akuntabilitas yang jelas terkait pelaksanaan rekomendasi UPR di tingkat pusat maupun daerah.

Komnas HAM menyatakan bahwa isu KBB telah menjadi prioritas kerja mereka, khususnya terkait perlindungan kelompok rentan. Namun, lembaga ini juga menegaskan perlunya kolaborasi yang lebih kuat antara lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil.

Rekomendasi dan Langkah Lanjutan

Para peserta forum menyepakati beberapa agenda tindak lanjut konkret, antara lain:

– Audiensi dengan Kemenkumham dan Kemenko Polhukam guna mendorong transparansi pelaksanaan UPR;
– Dialog multipihak yang melibatkan DPR (Komisi III dan VIII), CSO, serta lembaga keagamaan untuk mendorong kebijakan yang inklusif;
– Pembentukan forum komunikasi berkala antara pemerintah dan masyarakat sipil;
– Permintaan akses publik terhadap draft awal RANHAM generasi ke-6;
– Evaluasi internal antar-CSO guna memperkuat strategi advokasi bersama.

Komitmen ABI: Tegakkan Konstitusi, Lawan Diskriminasi

Kehadiran DPP ABI dalam forum ini menegaskan peran aktif komunitas Syiah Indonesia dalam memperjuangkan hak konstitusional warganya. ABI menilai bahwa bentuk-bentuk persekusi yang dilembagakan atas dasar keyakinan merupakan ancaman serius terhadap prinsip pluralisme dan demokrasi di Indonesia. []



Source link

TERKINI

EDUKASI