Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia — Ada momen-momen dalam hidup yang sulit dijelaskan, tapi sangat mudah dirasakan. Seperti saat kita duduk dalam sebuah majelis duka Husaini, saat ruangan remang-remang, udara hening, dan entah mengapa, dada mendadak sesak. Tanpa aba-aba, air mata pun jatuh begitu saja.
Bulan Muharram menghadirkan momen-momen seperti itu, saat di mana satu tetes air mata bisa terasa lebih jujur daripada seribu kalimat. Ketika diam justru terdengar lebih nyaring daripada ratapan. Saat hati bicara dengan cara yang bahkan kita sendiri tak mampu terjemahkan.
Dari gang-gang kecil di kampung hingga aula megah berhias hitam, dari mimbar sederhana di Surau hingga Husainiyah yang bergema ratapan, nama al-Husain tak pernah benar-benar sunyi.
“Ya Husain… Ya Zainab… Ya Abul Fadhl Abbas…”
Seruan itu bukan slogan. Pekikan itu adalah bahasa duka. Bahasa cinta. Dan, di atas segalanya, itu adalah bahasa harapan.
Setiap orang datang ke majelis Asyura dengan cara yang berbeda. Ada anak kecil yang mengira Maktam hanyalah pawai meriah, namun benih cinta diam-diam tumbuh di dadanya. Ada remaja yang awalnya hanya ikut-ikutan, lalu suatu malam, ketika lampu padam dan lantunan duka bergema… ia terdiam. Tersentuh. Menangis. Tanpa tahu mengapa.
Dan ada pula orang dewasa, seperti yang pernah diceritakan kepada saya, yang dalam hati berkata lirih, “Saya merasa sedang pulang.”
Saya juga membaca cerita tentang sebuah pengakuan dari seorang ustadz yang kini dikenal luas. Dengan suara pelan dan mata berkaca-kaca, berkata,
“Kalau saya tidak mengenal agama melalui Imam Husain, mungkin saya sudah jadi ateis. Saya tidak bisa mengenal agama ini lewat jalur lain.”
Kata-katanya seperti membelah ruang. Bukan sekadar pernyataan intelektual, tapi kesaksian dari luka yang pernah begitu dalam. Dan entah mengapa, saya sepenuhnya mengerti maksudnya.
Agama bisa terasa jauh, kering, bahkan menyesakkan. Tapi ketika kita mendekat kepada al-Husain, semuanya terasa hidup kembali.
Bukan karena kita memahami detail sejarahnya. Tapi karena kita merasakan.
Majelis-majelis duka bukan sekadar ruang mengenang tragedi. Itu adalah tempat penyembuhan diam-diam hal yang patah dalam diri. Tempat menaruh beban yang tak bisa kita ceritakan kepada siapa pun.
Asyura dan Karbala tidak selalu datang sebagai suara. Kadang hadir sebagai keheningan. Sebagai napas yang menggantung. Sebagai aroma air mawar yang tiba-tiba membawa duka tak bersebab. Atau sebagai detak jantung yang tak bisa kita kendalikan saat nama-nama itu disebut, Zainab, Abbas, Ali Asghar, Ali Akbar dan…..
Dari khazanah klasik, kita mengenal kisah Ummu Wahb. Bersama suami dan anaknya, dia bergabung dengan rombongan Imam Husain menuju Karbala. Di medan itu, Ummu Wahb sudah wakafkan hidup suami dan anaknya untul al-Husain, dan ketika memohon izin untuk ikut berjihad. Imam menolaknya dengan lembut, karena jihad tidak diwajibkan bagi perempuan. Tapi siapa yang bisa membendung semangat seorang ibu yang jiwanya terbakar oleh cinta dan keyakinan? Dia tetap berdiri. Menjaga kesetiaan dan kecintaan.
Dan siapa yang bisa melupakan Sayyidah Zainab binti Ali, cucu Rasulullah, penjaga keluarga yang selamat setelah tragedi? Zainab bukan hanya penyaksi Karbala, tapi penegak kehormatan Ahlul Bait. Zainab berdiri di hadapan penguasa lalim, dan dengan suara gemetar namun tegas,beliau berkata:
“Aku tak melihat apa pun selain keindahan.”
Itu bukan syair. Itu keberanian yang menelan seluruh dunia, dan tetap tegak hingga hari ini.
Kita hidup di zaman yang ramai tapi sepi. Segalanya cepat, segalanya dangkal. Tapi kisah-kisah seperti ini memaksa kita berhenti. Duduk. Mendengarkan. Merasa. Dan ya… menangis.
Mungkin… hanya mungkin… itulah sebabnya kita selalu kembali ke majelis-majelis seperti ini. Bukan karena kita selalu mengerti. Tapi karena kita selalu ingin… dekat. Dekat dengan kafilah Karbala. Dekat dengan al-Husain.
Husain tidak menawarkan jawaban instan. Tapi beliau menunjukkan jalan. Dan setiap orang berjalan dengan caranya sendiri. Ada yang datang lewat air mata. Ada yang lewat renungan. Ada yang datang karena warisan keluarga. Dan tentu ada yang datang karena luka hidup yang dalam.
Namun pada akhirnya, semua dipertemukan dalam satu hal, yaitu cinta yang jujur kepada Aba Abdillah al-Husain.
Air Mata Itu Pernyataan
Biarkan saja air mata ini jatuh.
Biarkan ia jadi bukti bahwa kita masih punya hati.
Bahwa di dunia yang semakin dingin ini,
kita masih punya ruang untuk menangis, tanpa malu.
Menangisi al-Husain bukan kelemahan.
Ia adalah keputusan untuk tetap menjadi manusia,
di tengah dunia yang perlahan kehilangan rasa.
Dan selama masih ada satu hati yang menangis untuk al-Husain,
maka Karbala tidak akan pernah mati. Selamanya. []