Ahlulbait Indonesia — Dalam perkembangan terbaru pasca eskalasi militer di Asia Barat, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengumumkan bahwa tim inspektur mereka telah meninggalkan Republik Islam Iran dan kembali ke markas besar di Wina. Kepergian ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat antara Iran dan negara-negara agresor, terutama rezim Zionis dan Amerika Serikat, serta perubahan signifikan dalam pendekatan legislatif Iran terhadap kerja sama nuklir internasional.
Pernyataan Resmi dan Tuntutan Iran
Dalam siaran resminya yang lansir oleh Farsnews Agency pada Sabtu (5/7), IAEA menyatakan bahwa para inspektur meninggalkan Teheran “dengan selamat” setelah tinggal selama masa konflik militer baru-baru ini. Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, menekankan pentingnya melanjutkan negosiasi dengan Iran guna “membahas kelanjutan aktivitas pemantauan dan verifikasi.”
Namun, di sisi lain, Majelis Permusyawaratan Islam (Parlemen Iran) pada 4 Juli dengan suara mayoritas mutlak (221 suara dari 223 wakil yang hadir) telah menyetujui RUU penangguhan kerja sama dengan IAEA berdasarkan pasal-pasal Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT). Ini bukan sekadar langkah administratif, ini adalah deklarasi kedaulatan terhadap rezim pengawasan yang selama ini menjadi instrumen tekanan politik Barat.
Inti RUU: Menolak Pengawasan yang Diinstrumentalisasi
RUU tersebut berakar pada dua pilar utama.
1. Penolakan terhadap pelanggaran kedaulatan nasional Iran yang dilakukan oleh Israel dan AS melalui serangan terhadap fasilitas nuklir dan ilmuwan Iran.
2. Tuntutan atas penghormatan penuh terhadap hak Iran untuk pengayaan uranium domestik, sebagaimana dijamin oleh Pasal 4 NPT.
Dengan ini, Iran menegaskan bahwa kerja sama dengan IAEA bukanlah kewajiban sepihak, melainkan bersyarat, dan syarat itu adalah penghormatan terhadap kedaulatan nasional serta perlindungan atas hak pembangunan nuklir damai.
Bukan Keluar dari NPT, Tapi Menegaskan Martabat Nasional
Langkah Iran bukanlah penarikan dari NPT, tetapi pengaktifan hak hukum yang dimungkinkan dalam Pasal 60 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (1969), yakni suspensi sementara atas kerja sama jika perjanjian dilanggar secara mendasar oleh pihak lain. Serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran jelas merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap asas non-agresi dan keamanan infrastruktur sipil.
RUU ini juga mensyaratkan bahwa pemulihan kerja sama dengan IAEA hanya akan dilakukan setelah dua hal terjadi.
1. Jaminan keamanan terhadap fasilitas nuklir dan ilmuwan Iran,
2. Dan pengakuan penuh terhadap hak legal Iran dalam program nuklir damainya.
Laporan resmi dari IAEA tidak akan cukup; persetujuan dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran menjadi syarat akhir untuk validitas kondisi tersebut.
Iran Sedang Membalik Meja Negosiasi
Langkah ini menandai perubahan paradigma penting, bahwa Iran tidak lagi akan menjadi objek pasif dalam skema pengawasan internasional yang timpang. Inspektur-inspektur IAEA yang meninggalkan Teheran tanpa kepastian kapan akan kembali menunjukkan bahwa Teheran kini menggenggam kontrol penuh atas agenda teknis dan politik nuklirnya.
Negosiasi ke depan tidak lagi soal “bagaimana Iran harus patuh”, melainkan bagaimana Barat, terutama AS dan Zionis harus menjamin tidak ada lagi agresi, sabotase, atau pembunuhan ilmuwan jika ingin mempertahankan mekanisme verifikasi.
Saatnya Perjanjian Dihormati atau Ditinggalkan
Iran tidak pernah menolak prinsip transparansi nuklir. Tapi transparansi yang tidak disertai dengan jaminan perlindungan, hanyalah ilusi keterbukaan yang digunakan untuk menjatuhkan.
Dengan inspektur IAEA yang kini telah meninggalkan Iran, dan parlemen yang memberikan mandat penuh kepada pemerintah untuk menangguhkan kerja sama, satu pesan telah dikirimkan ke Wina, Washington, dan Tel Aviv, bahwa Iran tidak akan lagi bermain di panggung internasional dengan tangan terikat.
Dan dunia harus bersiap menghadapi Iran yang kini berbicara dari posisi martabat, bukan belas kasihan.[]