Dari Teheran ke Jakarta: Efek Domino Perang Iran–Israel


Oleh: Billy Joe

Perang 12 Hari antara Iran dan Israel tak hanya menggemparkan dunia karena skala militernya yang belum pernah terjadi sebelumnya antara dua negara tersebut. Lebih dari itu, perang ini memicu resonansi geopolitik dan psikososial yang menyentuh tiga lapisan penting: internal Iran, kawasan Timur Tengah, dan umat Islam global, termasuk Indonesia. Perang ini bukan sekadar pertukaran rudal dan drone, tapi momentum langka yang membuka babak baru dalam narasi perlawanan, solidaritas umat, dan redefinisi siapa sebenarnya aktor destabilitas kawasan.

  1. Di Iran: Perang Menyatukan Dua Kubu yang Lama Berseberangan

Iran selama bertahun-tahun hidup dalam polarisasi internal. Dua kutub besar mewarnai dinamika sosial-politik negara itu: kubu revolusioner konservatif yang loyal pada Velayat-e Faqih dan Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, serta kubu reformis yang lebih terbuka pada nilai-nilai demokrasi dan modernitas ala Barat. Perbedaan itu kerap meletup dalam bentuk demonstrasi atau kritik terbuka, terutama menyangkut kebijakan domestik, kebebasan sipil, hingga arah politik luar negeri Iran yang dianggap terlalu agresif.

Namun, saat Israel meluncurkan serangan udara ke Tehran, Iran pada 13 Juni lalu—yang memicu balasan langsung dari Iran—segalanya berubah. Serangan eksternal itu menjadi titik balik yang menyatukan dua kutub tersebut. Dalam laporan Kompas.id (26 Juni 2025), warga dari berbagai latar belakang politik turun ke jalan, bukan untuk menuntut perubahan rezim, tapi untuk mendukung balasan Iran terhadap agresi Israel. Para tokoh reformis dan tokoh masyarakat yang sebelumnya kritis terhadap militerisasi Iran pun menyatakan bahwa ini bukan lagi soal ideologi internal, tapi soal harga diri nasional.

Fenomena ini dikenal dalam literatur geopolitik sebagai rally-around-the-flag effect, di mana ancaman eksternal memperkuat solidaritas internal. Bahkan di media sosial Iran, tagar-tagar dukungan terhadap IRGC (Pasukan Garda Revolusi Islam) sempat trending bersamaan dengan dukungan kepada Palestina. Ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap Israel adalah titik temu ideologis yang masih relevan dan hidup di jantung rakyat Iran, tak peduli afiliasi politik mereka.

  1. Di Kawasan: Negara Teluk Mulai Menggeser Pandangannya

Satu hal yang paling mengganggu status quo setelah perang ini adalah perubahan sikap negara-negara Teluk terhadap Israel. Dalam analisis yang diterbitkan The Telegraph (26 Juni 2025), para pejabat Teluk mengungkapkan keresahan bahwa Israel kini bertindak di luar kendali. Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, dan Bahrain yang sebelumnya menjalin atau membuka hubungan normalisasi dengan Israel, kini melihat Israel sebagai potensi ancaman yang justru dapat menyeret kawasan ke perang besar.

Fakta bahwa Israel menyerang tidak hanya Gaza, tapi juga Lebanon, Suriah, dan akhirnya Iran, menimbulkan ketakutan tersendiri. Jika Iran—dengan pertahanan canggihnya saja—bisa diserang, bagaimana dengan negara-negara Teluk yang secara militer bergantung pada perlindungan AS? Pertanyaan itu menggema di koridor-koridor diplomasi Riyadh dan Abu Dhabi.

Lebih dari itu, serangan balasan Iran yang sangat terukur dan mampu menembus sistem pertahanan Israel juga mengubah persepsi kekuatan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah konflik regional, Iran mampu menyerang langsung ke dalam wilayah Israel dan memaksa mereka menghitung ulang kalkulasi militernya. Ini mengganggu kepercayaan lama bahwa hanya Israel (dan AS) yang punya superioritas militer di kawasan.

Situasi ini membuat kalkulasi geopolitik negara-negara Teluk menjadi lebih berhati-hati. Kini mereka tak hanya memikirkan kepentingan dagang atau relasi diplomatik, tapi juga mempertimbangkan sentimen publik domestik yang semakin pro-Palestina dan anti-Zionis. Beberapa negara mulai bersikap ambigu dan tak lagi seterbuka dulu dalam mendukung kebijakan Israel.

  1. Di Indonesia: Mazhab Bukan Lagi Masalah, Palestina Jadi Pemersatu

Dampak perang ini juga sangat terasa di Indonesia—negara Muslim terbesar di dunia yang mayoritas penduduknya bermazhab Sunni. Selama bertahun-tahun, sebagian publik Indonesia mengalami polarisasi akibat sentimen anti-Syiah yang terus diproduksi dan dikapitalisasi oleh kelompok tertentu. Iran pun sering kali disudutkan bukan karena kebijakan luar negerinya, tapi semata karena identitas mazhabnya.

Namun, perang ini mengubah banyak hal. Saat publik melihat bahwa Iran berdiri paling depan dalam melawan penjajahan Zionis, sentimen mazhab mulai ditanggalkan. Dalam berbagai tayangan televisi dan diskusi publik seperti program Rakyat Bersuara (iNews, 24 Juni 2025), narasi yang dominan bukan lagi “Syiah vs Sunni,” tapi “siapa yang membela Palestina dan siapa yang diam terhadap penjajahan.”

Kalimat seperti “Selama Iran bela Palestina, kita dukung” menjadi semacam mantra baru solidaritas. Musuh bersama menyatukan kembali umat Islam Indonesia, mengaburkan batas-batas mazhab dan membuka ruang dialog yang lebih jernih. Ini adalah momen penting untuk rekonsiliasi intraumat Islam yang lebih sehat dan rasional.

Lebih jauh lagi, perang ini juga menyadarkan publik Indonesia bahwa politik luar negeri tidak bisa hanya netral demi stabilitas, tetapi harus juga adil demi keadilan. Wacana untuk mendesak pemerintah lebih aktif dalam forum internasional seperti OKI dan PBB juga semakin menguat.

Kesimpulan: Sebuah Perang, Sebuah Kesadaran Baru

Perang 12 Hari antara Iran dan Israel bukan sekadar episode dalam konflik panjang di Timur Tengah. Ia adalah titik api yang membakar sekat-sekat lama dan menyinari realitas baru: bahwa solidaritas umat Islam terhadap Palestina mampu melampaui ideologi politik, mazhab, bahkan nasionalisme sempit. Di Iran, ia menyatukan rakyatnya. Di kawasan, ia menggeser kalkulasi geopolitik negara-negara Teluk. Dan di Indonesia, ia membangun kembali kesadaran umat Islam untuk melihat Palestina sebagai kompas moral, bukan mazhab sebagai sekat konflik.

Kini, pertanyaannya adalah: apakah kesadaran ini akan bertahan dan tumbuh? Ataukah akan kembali dikikis oleh narasi sektarian yang dibangkitkan oleh kepentingan jangka pendek? Yang jelas, momentum telah tercipta—dan menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaganya.

 

*Sumber:

 



Source link

TERKINI

EDUKASI