Dilema Zionis: Menjaga Rahasia atau Melancarkan Serangan Prematur?


Oleh: Husni Mubarak Raharusun (Magister Prodi Perang Asimetris Universitas Pertahanan)

Ahlulbait Indonesia – Setelah 12 hari aksi serang terbuka antara Israel vs Iran, banyak asumsi yang berkembang tentang motif dari serangan Israel ke Iran, diantaranya adalah:

1. Serangan tersebut merupakan akumulasi dari kemarahan Israel atas Iran karena selama ini telah memberikan bantuan kepada proksi-proksinya di Kawasan terutama Hizbullah di Lebanon, Ansharullah Houthi di Yaman, dan Hamas di Gaza.

2. Penyerangan Israel terhadap Iran adalah upaya untuk menggulingkan rezim, seperti yang dilakukan di Suriah pada penghujung 2024 dengan mengaktifkan proksinya sebagai aktor lapangan.

3. Tindakan Israel terhadap Iran merupakan balasan atas 2 serangan Iran sebelumnya yang bersandikan True Promise.

4. Serangan Israel terhadap Iran adalah upaya Netanyahu untuk menghindari masalah dalam negeri yang sedang dihadapi, terutama masalah korupsi yang menjeratnya. Dan begitu juga dengan asumsi-asumsi lainnya seputar keterlibatan Iran di kawasan yang menciptakan ketidaknyamanan terhadap pemerintah Zionis.

Jawaban atas asumsi-asumsi tersebut adalah benar. Namun, terdapat satu sisi yang tidak terlalu diperhatikan.

Lantas, Sisi Mana yang Lalai dalam Pengamatan?

Sebelum masuk pada jawaban atas pertanyaan di atas, perlu ditegaskan lagi bahwa asumsi-asumsi yang selama ini beredar tentang motif serangan Israel terhadap Iran adalah benar secara nyata. Namun, asumsi-asumsi tersebut jika ditilik bukanlah alasan prioritas Israel dalam membuka front baru.

Kenapa demikian?

Pertama, sudah menjadi konsumsi masyarakat internasional bahwa konflik antara Israel dan Iran terjadi ketika meletusnya revolusi 1979 yang meruntuhkan singgasana Pahlevi. Ditambah lagi umur Revolusi yang jika di istilahkan masih “bau kencur”, Imam Khomeini yang saat itu merupakan pemimpin tertinggi Revolusi menyatakan anti Zionis dan tidak mengakui adanya entitas Israel.

Pernyataan Imam Khomeini bukanlah retorika kosong. Pernyataan tersebut bersenyawa dengan tindakan yang terimplementasikan melalui fatwa peringatan Quds Day di jumat akhir bulan Ramadhan. Yang jika diartikan, maka fatwa Quds Day adalah rudal pertama yang dilepaskan oleh Republik Islam Iran terhadap Israel.

Kedua, jika mengacu kepada asumsi penggulingan rezim atau balasan atas serangan True Promise 1 dan 2, termasuk asumsi mencegah Iran dalam memperoleh senjata Nuklir, bisa saja Israel telah melancarkan serangan terbuka jauh hari sebelumnya, bukan menanti tanggal 13 Juni sebagai hari penghakiman terhadap Iran, ditengah kesibukan Israel dalam menghadapi front Houthi dan Hamas.

Ketiga, apakah kejahatan Israel di kawasan berawal dari kepemimpinan Netanyahu? Apakah pemimpin-pemimpin Israel sebelumnya tidak melakukan kejahatan yang sama? Bahkan jika ditelisik, kejahatan Israel di Timur Tengah (khususnya terhadap Palestina) telah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Israel sebelumnya, baik yang secara konvensional maupun dalam Grey Zone Area.

Motif Serangan Israel terhadap Iran pada Tanggal 13 Juni

Jika menyimak dinamika Timur Tengah (khususnya Iran vs Israel), sebelum Israel menabuh genderang perang terbuka dengan Iran di tanggal 13 Juni, militer Israel mengumumkan penangkapan terhadap intelijen Iran yang beroperasi di wilayahnya.

Namun beberapa hari sebelumnya, Garda Revolusi Iran atau yang dikenal dengan IRGC mempublikasikan data rahasia Intelijen Israel jilid 1. Dimana dalam dokumen tersebut mengkonfirmasikan keterlibatan Kepala IAEA atau Lembaga Atom Internasional, Grossi yang terus berkoordinasi dan menjalankan perintah Israel. Tindakan IRGC inilah yang dalam kacamata psywar memicu reaksi Israel.

Sederhananya, jika jilid 1 adalah menyingkap wajah asli dari IAEA, maka tidak menutup kemungkinan, jilid berikutnya adalah penyingkapan wajah-wajah yang lain, bahkan bisa saja identitas agen-agen Israel yang sedang beroperasi didalam Iran pun akan terekspos, termasuk strategi dan taktik yang telah dibangun selama ini yang orientasinya adalah penaklukkan negeri para Mullah.

Jika kondisi demikian adanya, maka Israel hanya memiliki dua opsi, yakni menyelamatkan aset-asetnya baik dalam maupun luar negeri serta strategi yang telah dirancang selama ini, ataukah membiarkan Iran menghancurkan satu per satu ekspektasinya yang sudah hampir rampung.

Oleh karena itu, walaupun Israel sangat paham dengan kekuatan militer Iran, terutama kualitas dan kuantitas kekuatan dirgantara IRGC (dengan bercermin pada 2 serangan Iran sebelumnya), namun demi menyelamatkan aset dan strateginya, maka Israel perlu mengambil langkah awal melancarkan serangan terhadap Iran dengan harapan menciptakan kondisi ketidak amanan terhadap rakyatnya, dimana tujuan akhirnya adalah selain menyelamatkan aset-asetnya, dan juga memicu gelombang protes rakyat Iran kepada pemerintah (menggulingkan rezim yang berkuasa).

Hal ini mudah untuk dinalisis. Karena sebagaimana yang telah diketahui dunia bahwa Israel adalah negara yang memiliki sumberdaya militer dan intelijen terbaik di Kawasan. Sudah barang tentu jika Israel berniat untuk melakukan serangan secara konvensional terhadap Iran, maka yang ada dalam pikiran mereka adalah melakukan serangan yang mematikan sehingga Iran tidak dapat melakukan balasan. Maka otomatis, target dari serangan 13 Juni adalah bukan hanya sebatas melumpukan, tetapi juga menghancurkan agar musuh tidak dapat bangkit kembali.

Namun realitas yang terjadi justru terbalik, sebelum melewati 24 jam, Iran telah melakukan serangan balasan, yang bahkan target sasarannya adalah jantung pertahanan Israel. Kondisi ini dapat mengkonfirmasikan bahwa serangan Israel terkesan tanpa perencanaan yang matang karena ”mungkin saja” terpicu oleh bocornya data intelijen.[]



Source link

TERKINI

EDUKASI