DPD ABI Jepara Hadir di Forum Antar Umat: Menafsir Asyura sebagai Nilai Kebangsaan


Jepara, 3 Juli 2025 — Dalam rangka memperingati hari Asyura, Radio JFM 102.8 FM Semarang bekerja sama dengan DPD Ahlulbait Indonesia (ABI) Jepara, Pondok Pesantren Darut Taqrib (DATA) Jepara, dan Persaudaran Lintas Agama (PELITA) Semarang, menggelar program siaran khusus Forum Antar Umat (FORMAT). Kegiatan ini merupakan agenda tahunan yang rutin menghadirkan dialog lintas agama dan budaya. Siaran yang di gelar pada Kamis, 3 Juli ini dilakukan melalui sambungan telepon dengan tema sentral “Peringatan Asyura dalam Konteks Budaya, Spiritualitas, dan Etika Publik”.

Ustadz Muhammad Ali, perwakilan DPD ABI Jepara, hadir sebagai nara sumber utama, menjelaskan berbagai aspek historis dan filosofis seputar Asyura serta keterkaitannya dengan kehidupan sosial-politik masyarakat Indonesia.

Dari Asyura ke Suro: Jejak Etimologis dan Historis

Menurut Ustadz Muhammad Ali, istilah “Suro” yang dikenal luas dalam budaya Jawa dan Sunda berasal dari kata Arab “Asyura”, yang berarti hari ke-10 dalam bulan Muharram. Istilah ini masuk ke dalam kosakata lokal melalui Islamisasi Jawa pada masa Kesultanan Mataram, khususnya melalui kebijakan Sultan Agung yang menggabungkan kalender Hijriah dengan sistem penanggalan Jawa.

“Transformasi istilah dari ‘Asyura’ menjadi ‘Suro’ adalah bentuk adaptasi fonetik dan kultural, tanpa menghilangkan substansi maknanya,” jelasnya.

Tragedi Karbala dan Refleksi Budaya Nusantara

Ustadz Ali menekankan bahwa Asyura dalam tradisi Islam merujuk pada tragedi Karbala yang terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriah, ketika Imam Husain bin Ali, cucu Rasulullah SAW, beserta keluarga dan sahabatnya gugur dalam perjuangan melawan tirani kekuasaan Bani Umayyah.

“Di banyak wilayah Nusantara, peringatan Suro menjadi momen hening dan reflektif, ditandai dengan larangan menggelar perayaan seperti pernikahan atau khitanan,” ungkapnya. Ia juga menjelaskan tradisi masyarakat yang mengenakan pakaian serba hitam serta menyajikan bubur merah-putih sebagai simbol duka dan kesucian.

Bagi komunitas Syiah, peringatan Asyura merupakan ritual spiritual yang terus dijaga sebagai bentuk empati dan solidaritas terhadap penderitaan keluarga Nabi. “Ini menjadi bentuk ‘laku batin’ yang menyeimbangkan kehidupan dunia yang semakin terjebak dalam materialisme dan logika artifisial,” imbuhnya.

Asyura dalam Etika Politik dan Kesadaran Bernegara

Dalam sesi interaktif, sejumlah pendengar dari berbagai kota turut mengajukan pertanyaan, membuka diskusi lebih luas mengenai relevansi nilai-nilai Asyura dalam konteks sosial dan politik saat ini.

Ibu Isma dari Kendal bertanya mengenai arti penting pengorbanan Imam Husain dalam membentuk kesadaran bernegara. Ustadz Ali menjawab bahwa perjuangan Imam Husain bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan perlawanan terhadap otoritarianisme yang mengatasnamakan agama.

“Penguasa kala itu menggunakan agama untuk menjustifikasi tirani. Imam Husain mengorbankan nyawanya untuk membongkar kemunafikan sistem, membangkitkan kesadaran publik, dan membela prinsip keadilan,” terangnya.

Asyura sebagai Kritik terhadap Politik Tanpa Moral

Riski dari Solo mempertanyakan bagaimana nilai-nilai Asyura dapat dijadikan landasan untuk melawan politisi korup. Ustadz Ali menjelaskan bahwa perjuangan Imam Husain selalu dilandasi moral dan etika, bahkan dalam situasi ekstrem.

“Imam Husain tidak melawan dengan kebencian, melainkan dengan keteguhan moral. Ia bahkan menyeru para lawan untuk kembali ke jalan kebenaran. Salah satu panglimanya, Al-Hurr, tersentuh dan bergabung di pihak kebenaran,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa politisi masa kini seharusnya belajar menanggalkan ego kekuasaan dan mengutamakan kepentingan rakyat dengan menjadikan moral sebagai fondasi utama dalam bertindak.

Membangun Keberanian Melawan Ketidakadilan

Zeni dari Jatingaleh bertanya tentang cara membangun keberanian masyarakat untuk melawan ketidakadilan. Ustadz Ali menekankan pentingnya pemurnian niat dan konsistensi terhadap nilai.

“Imam Husain menyeleksi pengikutnya dalam perjalanan ke Karbala. Dari ribuan yang awalnya bergabung, hanya 72 orang yang benar-benar teguh hingga akhir. Mereka sadar bahwa kematian adalah harga yang harus dibayar untuk menegakkan kebenaran,” ujarnya.

Merawat Toleransi dan Memahami Perbedaan

Amir dari Pekojan mengangkat isu perbedaan di antara umat beragama. Ustadz Ali menyatakan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang kodrati dan harus dijalani dengan sikap saling menghargai.

“Perbedaan seharusnya menjadi sarana untuk saling belajar, bukan sumber konflik. Kami di Jepara menjaga nilai-nilai kebersamaan lintas iman dengan semangat saling memahami dan menjaga harmoni,” jelasnya.

Budaya sebagai Medium Nilai dan Kesadaran

Fani dari Jepara mempertanyakan peran budaya dalam menanamkan nilai Asyura. Menurut Ustadz Ali, budaya lokal yang telah mengintegrasikan nilai-nilai Karbala menjadi medium strategis dalam membentuk moralitas publik.

“Budaya kita telah menyerap nilai pengorbanan, keberanian, dan kesetiaan dari kisah Imam Husain. Asyura di masyarakat kita bukan sekadar peringatan, tapi sumber etika sosial dan politik,” tegasnya.

Politik sebagai Jalan Pengabdian

Menutup acara, Ustadz Ali menegaskan bahwa politik seharusnya menjadi jalan pengabdian, bukan alat penindasan.

“Negara didirikan untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat, bukan untuk melanggengkan kekuasaan segelintir elite. Imam Husain telah memberi teladan bahwa nyawa sekalipun layak dikorbankan demi menegakkan keadilan. Karena itulah, darah mampu mengalahkan pedang,” pungkasnya.

Program Forum Antar Umat edisi Asyura ini menunjukkan bahwa peringatan historis bukan sekadar ritual, tetapi dapat menjadi ruang kontemplatif untuk memperkuat nilai kemanusiaan, spiritualitas lintas iman, dan etika dalam kehidupan berbangsa. []



Source link

TERKINI

EDUKASI