Semarang, 12 Mei 2025 – Aroma dupa cendana perlahan menyebar di ruang utama Vihara Tanah Putih, Semarang. Lonceng dan tambur dibunyikan, menandai dimulainya prosesi Hari Tri Suci Waisak 2569 BE, Senin (12/5). Ratusan umat Buddha telah duduk bersila, penuh khidmat. Tak lama, para Bhante berjalan perlahan memasuki ruangan, disambut dengan anjali, yakni tangkup kedua tangan di dada, tanda penghormatan dari umat.
Suasana hening. Lantunan paritta dalam bahasa Pali terdengar lembut namun dalam. Di tengah hiruk pikuk dunia luar, di sini justru keheningan menjadi pusat dari segalanya. Dalam diam, umat memasuki sesi Bhavana, meditasi sunyi untuk membina dan menyucikan batin. Seolah waktu berhenti sejenak.
Dari sisi kiri altar Buddha, seorang Bhikkhu lanjut usia perlahan menaiki kursi kayu berukir rusa. Ia adalah Bhikkhu Cattamano Mahathera, Kepala Vihara Tanah Putih. Suaranya rendah tapi jelas. Dalam nada yang tenang dan kontemplatif, ia menyampaikan Dhammasesana, khotbah Dhamma, tentang perjalanan Siddhattha Gotama mencari dan menemukan pencerahan.
“Orang bijaksana memiliki sila, moralitas yang luhur,” ujarnya. “Ia menjaga ucapan dari kebohongan, fitnah, dan kata-kata kasar. Ia menahan diri dari tindakan menyakiti atau mencuri, bahkan dari pikiran yang dipenuhi kebencian.”
Bhikkhu Cattamano juga menekankan pentingnya kebijaksanaan jasmani, tidak menyakiti makhluk lain, bahkan menghindari perbuatan yang bisa merenggut kehidupan makhluk hidup lainnya.
“Sudah tentu,” lanjutnya, “orang yang memiliki sifat luhur adalah orang yang bijaksana.”
Usai sesi ibadah, suasana berubah menjadi lebih cair namun tetap hangat ketika perwakilan lintas agama mulai berdatangan. Mereka tak hanya hadir sebagai tamu, tapi juga sebagai sahabat dalam keberagaman.
KH. Taslim Syahlan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Indonesia. Mengenakan peci khas pejuang 45 warna coklat, dan kemeja warna hitam, ia berdiri di depan para hadirin sambil menyampaikan pesan yang menggugah.
“Kami datang bukan hanya untuk ‘say hello’. Ini bukan sekadar seremoni,” katanya. “Ini adalah wujud nyata toleransi aktif, bahwa perbedaan adalah potensi perekat, bukan penyekat.”
Ia menyebut bahwa semua agama, keyakinan, dan penghayat hadir dalam acara ini. Dari Syiah (ABI), NU, Muhammadiyah, LDII, dan lainnya. FKUB, menurutnya, mewakili semangat kebersamaan yang tulus dan terbuka.
“Bukan berarti kita mencampuradukkan agama,” ujarnya lebih lanjut. “Tapi kita hadir karena menghormati kebahagiaan yang dirasakan saudara-saudara kita yang merayakan Waisak.”
Ia pun berharap, peristiwa seperti ini menjadi pemantik, bukan hanya simbol kerukunan, tapi juga ruang belajar bersama sebagai bangsa yang besar dan majemuk.
“Semoga Indonesia semakin dewasa dan tak lagi alergi terhadap perbedaan,” katanya, menutup sambutannya.
Dalam acara ini turut hadir perwakilan Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) ABI Jawa Tengah, serta Dewan Pimpinan Daerah (DPD) ABI Jepara. Ketua Humas, Media, dan Penerangan (HMP) DPP ABI, Muhlisin Turkan, hadir atas undangan langsung dari Sekjen Asosiasi FKUB, KH. Taslim Syahlan.
Di bawah langit Semarang yang teduh, Waisak di Vihara Tanah Putih tahun ini bukan hanya perayaan spiritual, tetapi juga penegasan bahwa harmoni bisa tumbuh dari keberagaman, dan keheningan bisa jadi ruang perjumpaan lintas iman. []