Oleh: Taufiqurrahman al-Azizy
Ahlubait Indonesia — Di tengah konflik berkelanjutan antara Iran dan Israel, diskursus publik Muslim terbagi dalam berbagai aliran narasi. Namun yang menarik bukan sekadar posisi pro atau kontra terhadap pihak tertentu, melainkan perbedaan mencolok antara narasi Islamis di Indonesia dan yang berkembang di dunia Arab atau Timur Tengah secara umum. Meski sama-sama lahir dari identitas keislaman yang kuat, narasi Islamis di kedua wilayah ini bergerak dengan pola, motivasi, dan fokus yang sangat berbeda—bahkan bisa dikatakan: yang satu berdarah-darah, yang satu lagi sibuk menilai mazhab si penyerang.
Islamisme di Indonesia cenderung bergerak dalam ruang simbolik dan moralistik. Narasi-narasi yang berkembang di kalangan Islamis lokal banyak dipenuhi jargon perjuangan, kalimat-kalimat penuh emosi, serta klaim-klaim tentang persatuan umat yang sayangnya tidak terhubung dengan strategi konkret. Konflik Palestina, misalnya, kerap direduksi menjadi sekadar pertarungan antara Muslim dan Yahudi, tanpa membedakan antara proyek kolonial Zionisme dan entitas keagamaan. Ketika Iran mengambil langkah nyata menyerang Israel, narasi Islamis Indonesia justru membelok ke arah yang sangat khas: investigasi akidah. Alih-alih bertanya, “Apa dampak geopolitik serangan ini bagi Palestina?”, mereka justru sibuk memastikan, “Apakah penyerangnya Syiah? Sudah pernah ikut kajian tauhid belum?”
Sementara sirene berbunyi di Tel Aviv dan rudal melayang di langit Negev, para pejuang medsos +62 dengan sigap membuka kembali arsip digital soal kesesatan Syiah. Beberapa bahkan mengangkat teori konspirasi bahwa serangan Iran hanyalah akting geopolitik, semacam pentas wayang Timur Tengah yang dikoreografikan untuk mengelabui umat. Bayangkan: Israel dan Iran bakal kerja sama hanya demi menipu followers Instagram kalian? Hebat sekali daya khayal umat. Mereka begitu sigap membedah profil ideologis si penembak rudal, seolah-olah perlawanan hanya sah jika dilakukan oleh alumni kajian pekanan mereka.
Anehnya, pihak yang sangat vokal menyerukan pembebasan Palestina ini menjadi sangat selektif dalam menyambut siapa yang melakukan aksi nyata. Iran, Hizbullah, atau bahkan Houthi yang secara faktual mendukung perjuangan Palestina, justru dicurigai sebagai bagian dari strategi sesat. Lebih baik diam, kata mereka, daripada mendukung gerakan dari mazhab yang “tidak sesuai”. Lebih baik Israel tetap kokoh, daripada umat bingung soal batas-batas akidah.
Di Timur Tengah, Islamisme jauh lebih pragmatis dan kontekstual. Meski tetap sarat ideologi, kelompok-kelompok seperti Hamas, Hizbullah, bahkan Ikhwanul Muslimin di Mesir memiliki keterkaitan langsung dengan dinamika politik, militer, dan ekonomi di kawasan. Mereka tidak hanya bicara soal “membela umat,” tetapi juga bernegosiasi, membangun aliansi, bahkan kadang kompromi dengan aktor sekuler atau negara lain. Ketika Iran menyerang Israel, banyak kelompok Islamis di Timur Tengah bersikap kritis namun tetap mengakui nilai strategisnya dalam mengubah tekanan politik regional. Bahkan jika mereka berbeda mazhab dengan Iran, realitas geopolitik tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak ada yang mendadak buka kitab tafsir dulu sebelum mendukung perlawanan.
Di sisi lain, Islamis Indonesia justru menjadikan kitab dan kutipan ustaz sebagai penentu keabsahan sebuah aksi geopolitik. Rudal yang menghantam Tel Aviv dipertanyakan bukan dari segi dampaknya, tapi dari silsilah aqidah penembaknya. Ini semacam memeriksa silsilah santri dulu sebelum percaya hasil uji laboratorium. Dan lebih anehnya lagi, dalam bayangan mereka, Israel bisa ditumbangkan oleh orang yang satu mazhab, satu style, satu nada khutbah.
Islamis Indonesia seringkali membingkai konflik luar negeri dalam logika akidah: siapa yang benar, siapa yang sesat, siapa yang harus kita doakan, dan siapa yang boleh diboikot secara spiritual. Sedangkan Islamis Timur Tengah—karena terlibat langsung dalam konflik dan dinamika kekuasaan—terpaksa bersikap lebih realistis. Mereka tidak bisa hanya menilai dari kitab, tapi juga dari hasil. Maka muncullah diskursus yang mungkin terdengar membingungkan bagi pendengar Indonesia: bahwa Syiah Iran bisa menjadi mitra taktis, bahwa Hizbullah bisa dihormati meski berbeda manhaj, bahwa lawan Israel tidak harus sempurna secara teologis.
Bahkan dalam narasi digital, sebagian besar aktivisme Islamis Indonesia terlihat seperti kompetisi desain poster, lomba video pendek, atau saling retweet dengan narasi heroik. Sementara itu, di Gaza, orang-orang sedang mencoba hidup tanpa air bersih, tanpa listrik, dan tanpa atap. Ironisnya, sebagian dari mereka yang tinggal ribuan kilometer dari medan perang justru merasa lebih paham siapa yang layak disebut mujahid.
Sementara rudal diluncurkan di Tel Aviv, sebagian Islamis Indonesia justru lebih resah dengan kemungkinan bahwa umat Islam jadi bersimpati ke Syiah. Maka terjadilah diskursus paling jenius di abad ini: “Lebih baik Israel tetap berdiri daripada umat terkecoh oleh akidah sesat.” Begitu kuatnya ketakutan terhadap penyimpangan doktrin, sampai-sampai rudal anti-Zionis pun dinilai sebagai ancaman spiritual.
Salah satu penyebab utama perbedaan ini adalah pengalaman sejarah dan kedekatan dengan pusat konflik. Islamis Timur Tengah hidup dalam kondisi di mana isu-isu seperti blokade Gaza, intervensi militer, dan normalisasi dengan Israel adalah pengalaman nyata, bukan sekadar berita. Mereka tidak punya kemewahan untuk hanya bersikap simbolik. Mereka tidak bisa duduk santai, meminum teh sambil bikin poster digital bertuliskan “Free Palestine” tanpa mempertimbangkan siapa yang benar-benar mengirim senjata ke Palestina.
Sedangkan di Indonesia, isu-isu ini hadir sebagai citra di layar gawai, sehingga responsnya lebih banyak bersifat emosional dan sektarian. Sebuah rudal Iran ke Israel dianggap kurang penting dibandingkan asal usul doktrin pemilik rudal tersebut. Bahkan ada yang rela membuka kitab lama, mencocokkan sanad retorika politik dengan hadis palsu demi memastikan: “tidak tertipu oleh musuh dalam selimut.”
Sistem politik juga berpengaruh. Di banyak negara Timur Tengah, kelompok Islamis punya sejarah panjang dalam berhadapan langsung dengan negara (otoriter maupun demokratis), sehingga narasinya lebih terhubung dengan kalkulasi politik riil. Di Indonesia, banyak kelompok Islamis justru tumbuh di ruang kultural dan sosial, bukan dalam pertempuran kekuasaan. Akibatnya, mereka lebih fokus membangun identitas dan moral kolektif, bukan strategi geopolitik. Peperangan hanyalah narasi—bukan kenyataan.
Kita tidak bisa berharap perlawanan terhadap Zionisme bisa berhasil hanya dengan repost quote dan unggahan foto anak Gaza yang berdarah. Dunia nyata bergerak dengan sistem kekuasaan, pengaruh, dan logistik. Tapi bagi sebagian Islamis Indonesia, yang penting adalah viralitas. Mereka ingin jadi pahlawan dari balik layar smartphone, menggerakkan umat dari balik akun anonim, dan menegur dunia dari kolom komentar. Perlawanan digital bukan masalah—tapi ketika itu menjadi satu-satunya bentuk perjuangan, kita punya masalah besar.
Kesimpulannya, narasi Islamis Indonesia dan Timur Tengah sama-sama lahir dari semangat keislaman dan solidaritas umat. Namun perbedaannya sangat mencolok: satu lebih bersifat simbolik dan ideologis (dan penuh teori konspirasi medsos), satu lagi cenderung strategis dan kontekstual (meski tetap bermasalah dalam banyak hal). Di tengah dunia yang makin kompleks, pertanyaannya: mana narasi yang lebih mampu memberi hasil nyata bagi umat?
Dan untuk sebagian Islamis Indonesia yang lebih takut Syiah daripada Zionis, mungkin sudah waktunya mengganti hashtag dari #FreePalestine menjadi #AmanDariSyiahDulu. Karena tampaknya, musuh mereka yang sesungguhnya bukanlah pendudukan, melainkan siapa yang mengangkat senjata lebih dulu… dan salah manhaj. Sungguh, dunia bisa terbakar, tapi mereka masih sibuk memastikan bahwa si pemadam kebakaran tidak pakai sepatu dari madzhab yang salah. []
Taufiqurrahman al-Azizy, penulis dan novelis yang telah menerbitkan lebih dari 200 buku. Pemerhati isu sosial-politik dan media digital.