Oleh: Media ABI
Ahlulbait Indonesia — Pada tanggal 1 Juni 2025, kapal sipil tak bersenjata bernama Madleen berlayar dari Catania, Italia menuju Jalur Gaza. Di tengah blokade brutal yang telah melumpuhkan kehidupan di Gaza selama lebih dari 17 tahun, Madleen bukan sekadar kendaraan laut. Ia adalah simbol nurani global, perwujudan solidaritas masyarakat sipil internasional yang dipimpin oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC), dalam misi membawa bantuan kemanusiaan berupa obat-obatan, makanan, dan perlengkapan bayi untuk rakyat Gaza yang terkepung.
Di atas kapal tersebut, 12 relawan dari berbagai negara membawa lebih dari sekadar logistik. Mereka membawa satu hal yang paling ditakuti oleh kekuasaan represif: kebenaran.
Blokade yang Melanggar Hukum Internasional
Blokade laut terhadap Gaza telah berulang kali dikecam oleh komunitas hukum internasional sebagai bentuk hukuman kolektif yang secara eksplisit melanggar Pasal 33 Konvensi Jenewa IV. Penahanan barang, pembatasan pergerakan warga sipil, serta penghancuran sistem logistik dasar tidak dapat dibenarkan atas nama “keamanan nasional”. Ini adalah bentuk penyiksaan sistematis yang telah menjerumuskan dua juta penduduk Gaza ke dalam krisis kemanusiaan berkepanjangan.
Teror Udara dan Gangguan Psikologis
Selama pelayaran, Madleen menjadi sasaran intimidasi militer. Sejak hari ketiga, drone militer Israel terus membayangi kapal, menyemprotkan zat tidak dikenal dari udara, mengacaukan komunikasi radio, dan memancarkan gangguan elektronik. Relawan sipil menjadi target strategi teror yang lazimnya diterapkan terhadap kombatan. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional yang menjamin perlindungan warga sipil dari kekerasan dalam konflik.
Dalam siaran langsung dari kapal, Yasemin Acar, relawan dari Jerman, menyampaikan: “Jika mereka menyerang kami, itu akan menjadi kejahatan perang tambahan. Kami hanya membawa bantuan untuk anak-anak Gaza.”
Intersepsi Brutal di Laut Internasional
Pada 9 Juni 2025, Angkatan Laut Israel menyerbu kapal Madleen di perairan internasional. Tanpa peringatan, tanpa dasar hukum, dan tanpa penghormatan terhadap norma internasional, pasukan bersenjata menyerbu kapal, memborgol para relawan, menyita kargo, dan menggiring seluruh kru ke pelabuhan Ashdod.
Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Hukum Laut (UNCLOS), serta menciderai prinsip kebebasan navigasi dan integritas misi sipil. Jika tindakan ini tidak dikategorikan sebagai pembajakan berseragam, maka kredibilitas hukum internasional patut dipertanyakan.
Misi Kemanusiaan Dijawab dengan Militerisasi
Rezim yang menyebut dirinya “demokrasi Timur Tengah” justru bertindak layaknya entitas militer otoriter. Penyerbuan terhadap kapal sipil menunjukkan bahwa bukan senjata yang ditakuti oleh negara penjajah, melainkan legitimasi moral, suara kebenaran, dan sorotan publik global. Kapal Madleen membawa narasi alternatif yang menembus blokade informasi—dan itu lebih menakutkan daripada rudal.
Reaksi Internasional dan Sikap ABI
Insiden ini memicu kecaman dari berbagai organisasi internasional, termasuk PBB dan Human Rights Watch. Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, Francesca Albanese, menyebut intersepsi terhadap Madleen sebagai “penghinaan terhadap prinsip kemanusiaan dan pelanggaran hukum laut”.
Namun, kecaman saja tidak cukup. Ahlulbait Indonesia (ABI), melalui pernyataan resmi Ketua Umum Ustadz Zahir Yahya pada 9 Juni 2025, menegaskan:
- Mengecam keras tindakan penyerangan terhadap kapal kemanusiaan Madleen yang dilakukan secara sepihak dan melanggar hukum internasional oleh militer Israel.
- Menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap seluruh relawan sipil, termasuk Yasemin Acar, serta menjamin keselamatan dan perlindungan hukum bagi mereka.
- Mendorong Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, untuk:
- Menyampaikan nota protes resmi terhadap tindakan ilegal ini;
- Meminta klarifikasi diplomatik kepada otoritas Israel;
- Mendukung pembentukan investigasi independen internasional atas pelanggaran yang terjadi.
- Mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia, ormas keagamaan, dan komunitas kemanusiaan untuk menunjukkan solidaritas aktif dan terus menyuarakan pentingnya pembukaan akses kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza.
- Mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga HAM internasional untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah kekerasan terhadap misi sipil serta menjamin tegaknya supremasi hukum internasional.
Harapan Tak Bisa Dipenjara
Kapal Madleen memang telah dihentikan secara fisik. Namun misinya terus berlayar dalam kesadaran publik global. Ia membuktikan bahwa solidaritas lintas batas tetap menyala, bahkan ketika institusi resmi gagal menegakkan keadilan. Sejarah tidak selalu ditulis oleh mereka yang memegang senjata, melainkan oleh mereka yang dengan keberanian membawa kehidupan melalui badai dan blokade.
Ahlulbait Indonesia (ABI) berdiri bersama kapal Madleen, bersama para relawan yang ditawan, dan bersama rakyat Gaza yang terus bertahan. Karena dalam dunia yang berusaha membungkam kebenaran, keberanian untuk bersuara adalah bentuk tertinggi dari perlawanan.[]