Membaca Strategi Zionis di Balik Topeng Nuklir


Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia — Serangan udara Amerika Serikat terhadap kompleks nuklir Fordow, Natanz, dan Isfahan pada 22 Juni 2025, yang diumumkan langsung oleh Presiden Donald Trump sebagai “operasi yang sangat sukses”, bukanlah peristiwa terisolasi bagi mata yang jernih. Agresi ini merupakan kelanjutan sistematis dari gelombang serangan yang telah dimulai Israel pada 13 Juni, tepat di tengah momentum perundingan damai di Oman. Serangkaian operasi yang menewaskan komandan IRGC, ilmuwan nuklir, hingga warga sipil tak berdosa. Salah satu serangan bahkan menghantam kawasan permukiman di utara Teheran, merenggut 60 nyawa, termasuk 20 anak-anak.

Apa yang terjadi bukanlah sekadar permusuhan bilateral, dan bukan pula efek samping dari konflik Gaza. Ini adalah benturan fundamental antara dua visi masa depan Kawasan: tatanan dominatif Zionis yang dibangun di atas hegemoni dan penjajahan, versus tatanan resistif Islamik yang berakar pada kemerdekaan, keadilan, dan harga diri umat.

Sejak kemenangan Revolusi Islam 1979, Republik Islam Iran telah menjelma menjadi pusat gravitasi dari apa yang kini dikenal sebagai Poros Perlawanan, sebuah jaringan strategis yang berdiri tegak menantang dominasi militer, ekonomi, dan kultural blok imperialis global. Inilah Poros yang menjadi alternatif dari tatanan dunia yang selama ini dipaksakan, dan karena itulah ia menjadi target utama serangan sistematis.

Isu Nuklir: Topeng Legalitas bagi Agresi

Retorika nuklir selama ini digunakan sebagai instrumen legitimasi oleh entitas Zionis dan sekutu-sekutunya di Barat untuk membenarkan tekanan politik, ekonomi, hingga intervensi militer terhadap Republik Islam Iran. Padahal, sejak awal Iran telah secara konsisten menolak pengembangan, penyimpanan, maupun penggunaan senjata pemusnah massal—baik melalui pernyataan resmi kenegaraan maupun fatwa otoritatif Pemimpin Tertinggi, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei.

Penolakan ini bukanlah taktis belaka, melainkan berakar pada prinsip moral, hukum Islam, dan rasionalitas strategis yang menganggap senjata semacam itu sebagai ancaman serius bagi kemanusiaan, bukan sebagai sarana kekuatan.

Fatwa Imam Khamenei pada 2010 menyatakan dengan tegas: “Kami menganggap penggunaan senjata semacam itu haram dan meyakini bahwa merupakan kewajiban setiap orang untuk berupaya menyelamatkan kemanusiaan dari bencana besar ini.”

Dalam pidato 9 April 2015, beliau menegaskan: “Fatwa syar’i dan aqli kita menyatakan bahwa kita tidak membutuhkan senjata nuklir baik di masa kini maupun masa depan. Senjata nuklir adalah sumber masalah, bukan solusi.”

Namun bagi musuh, ucapan ini tak berarti. Bukan karena mereka tak paham, melainkan karena nuklir hanyalah narasi kosmetik. Artinya, yang sejatinya mereka takutkan adalah kemerdekaan Kawasan, arus kesadaran baru, dan runtuhnya dominasi Barat.

Iran: Kepala, Jantung, dan Sumbu Poros Perlawanan

Iran bukan sekadar entitas negara, ini adalah pusat produksi ideologi resistensi yang membentuk denyut perlawanan regional. Republik Islam ini tidak hanya memiliki rudal, tetapi juga narrative weaponry, senjata naratif dan ideologis yang mengalir dan menyala di Gaza, Beirut, Baghdad, Sanaa, dan Damaskus.

Sampai di sini, menjadi jelas bahwa sebenarnya yang ditakuti oleh entitas Zionis bukanlah sekadar pengayaan uranium, melainkan penguatan kesadaran dan kemandirian Kawasan. Iran adalah jantung yang memompa semangat perjuangan ke seluruh tubuh dunia Islam yang tertindas. Karena itulah, strategi musuh tidak sekadar menargetkan simpul-simpul Poros Perlawanan, tetapi berupaya langsung memenggal kepalanya; dalam hal ini Iran sebagai pusat komando spiritual, ideologis, dan strategis perlawanan.

Memenggal Kepala, Bukan Sekadar Memukul Tangan

Apa yang tampak di permukaan sebagai serangkaian operasi militer terpisah, sejatinya merupakan bagian dari satu konstruksi sistematis, sebuah strategi decapitation regional. Tujuannya bukan hanya melemahkan Perlawanan di level operasional, melainkan memutus pusat-pusat kendali ideologis dan strategisnya.

Strategi Israel terhadap Iran bukanlah respons sesaat, melainkan rangkaian langkah sistematis yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Di antaranya adalah pembunuhan tokoh-tokoh kunci seperti ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh, sebagai upaya melumpuhkan kapasitas intelektual dan militer Iran; pemutusan jalur logistik dan senjata ke Hizbullah dan Gaza melalui serangan rutin di wilayah Suriah; serta perang reputasi yang dilancarkan di panggung internasional melalui framing media dan tekanan diplomatik. Semua itu diperkuat dengan upaya destabilisasi internal yang melibatkan sanksi ekonomi, infiltrasi sosial, hingga kampanye perang informasi yang dirancang secara terkoordinasi dan berjangka panjang.

Dalam skema ini, Mossad dan CIA tidak lagi sekadar beroperasi dalam bayang-bayang. Mereka aktif menyusup ke infrastruktur vital, menarget kesadaran publik, dan bahkan menggerogoti makna harapan kolektif melalui sabotase psikologis yang sistemik dan berkelanjutan.

Normalisasi Arab: Dari Damai Semu Menuju Blokade Strategis

Normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan entitas Zionis bukan sekadar langkah diplomatik, ia merupakan bagian integral dari proyek blokade geopolitik terhadap Iran dan sekutu-sekutunya di Kawasan. Dalam konteks ini, normalisasi adalah bentuk kolaborasi aktif terhadap proyek penjajahan dan dominasi regional yang dirancang oleh AS dan Israel dengan dukungan kekuatan Barat.

Abraham Accords yang ditandatangani Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020 menjadi titik balik strategis, membuka akses militer dan intelijen Israel ke kawasan Teluk. Proses ini tidak hanya merelaksasi batas politik, tetapi juga memberi keuntungan operasional bagi Tel Aviv di jantung dunia Arab.

Sementara itu, negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, dan Maroko menempuh jalur keterlibatan yang lebih senyap, namun dampaknya tetap signifikan. Mereka mempersempit ruang strategis Poros Perlawanan, baik melalui kerja sama intelijen, penyediaan akses wilayah, maupun pembatasan diplomatik terhadap jaringan resistensi. Di sini, yang dipertaruhkan bukan hanya kedaulatan politik, melainkan juga rute udara, laut, dan kanal diplomatik yang menjadi urat nadi blok Perlawanan di Kawasan.

Poros Perlawanan dan Keseimbangan dalam Kabut

Musuh tidak sedang berhadapan dengan entitas statis. Poros Perlawanan adalah jaringan dinamis yang terus belajar, beradaptasi, dan berkembang melalui pengalaman panjang dalam menghadapi berbagai bentuk agresi. Poros ini tidak bermain di papan catur konvensional, melainkan bergerak lincah dalam ruang tempur multidimensi yang meliputi aspek militer, ideologis, informasi, dan geopolitik.

Strategi ini mencakup perang narasi untuk menggugurkan legitimasi palsu musuh melalui konfrontasi diplomatik dan opini publik internasional. Perang asimetris yang mengubah setiap garis depan menjadi beban strategis mahal, melelahkan, dan penuh risiko bagi musuh. Serta integrasi Kawasan yang mengonsolidasikan poros Teheran-Baghdad-Damaskus-Beirut-Gaza-Sanaa sebagai koridor strategis kebangkitan dunia Muslim yang merdeka dari kontrol imperialisme.

Kekuatan Poros Perlawanan tidak terletak pada dominasi senjata, melainkan pada keunggulan visi, konsistensi arah perjuangan, dan keteguhan akidah yang melandasi setiap langkahnya. Ia adalah kekuatan yang bergerak dalam kabut, namun tahu persis ke mana arah yang dituju.

Ketika Nadi Menjadi Target, Detaknya Membesar

Apa yang oleh musuh dianggap sebagai “kepala ular” sejatinya adalah nadi Kawasan, nadi yang mengalirkan semangat perlawanan, kehormatan, dan kebangkitan. Itulah sebabnya, setiap kali nadi ini dipukul, ia tidak melemah, tetapi justru berdetak lebih kuat. Setiap serangan menjadi bara kesadaran; setiap blokade menjadi katalis bagi persatuan lintas batas.

Poros Perlawanan bukan sekadar blok militer atau aliansi strategis. Poros Perlawanan adalah jaringan ruh, ideologi, strategi, dan keberanian yang tumbuh dari luka, bertahan karena keyakinan, dan bergerak karena cinta pada tanah yang tak bisa dibeli oleh normalisasi, atau ditaklukkan oleh drone berbahan serat karbon. []



Source link

TERKINI

EDUKASI