Oleh: Ust. Musa Alkadzim (Pengamat Timur Tengah)
Ahlulbait Indonesia – Catatan penerjemah Pidato ini disampaikan oleh penyair dan intelektual Arab Tamim al-Barghouti pada 22 Juni 2025, dalam konteks meningkatnya ketegangan dan intervensi militer di Timur Tengah. Terjemahan ini disajikan dalam bentuk bebas—mendekatkan teks ke langgam bahasa Indonesia yang tetap mempertahankan kemarahan dan kesetiaannya pada rakyat yang tertindas.
Tentang Tamim al-Barghouti Lahir di Kairo, 13 Juni 1977, Tamim adalah putra penyair Palestina Mourid al-Barghouti dan novelis Mesir Radwa Ashour. Memegang gelar Ph.D. Ilmu Politik dari Boston University (2004), ia pernah mengajar di American University in Cairo, Georgetown University, dan Freie Universität Berlin. Dikenal sebagai “Penyair Yerusalem”, puisinya—seperti “In Jerusalem” (2007)—menjadi ikon perlawanan Palestina; sementara analisis politiknya kerap hadir di media satelit Arab dan forum internasional. Perpaduan disiplin akademik dan lirisisme menempatkan pidatonya sebagai seruan perlawanan yang bernuansa geopolitik dan berakar pada etika kemanusiaan.
Pengantar Dalam dunia Arab, penyair bukan sekedar perangkai kata—ia adalah penjaga hati umat, suara di tengah kebungkaman, dan perekat memori yang hidup dalam suara. Tamim al-Barghouti mewarisi tugas berat ini, dan pada 22 Juni 2025 kemarin, dia membacakannya dalam bentuk paling utuh: monolog panjang yang menggugah kesadaran kolektif Arab dan Muslim tentang satu hal—bahwa tidak ada lagi ruang untuk netralitas, dan bahwa perlawanan hari ini bukan pilihan, melainkan satu-satunya jalan—jalan lain adalah kekalahan yang bertubi-tubi dan tanpa ujung.
Monolog yang diunggah pada 22 Juni lalu itu adalah naskah untuk zaman penuh pergolakan saat ini. Ia menggabungkan analisis geopolitik tajam, penghayatan sejarah yang mendalam, serta seruan moral yang tak bisa ditolak, dengan bahasa yang begitu lugas dan—khas Barghouti—sama sekali bersih dari jargon-jargon yang tidak perlu. Monolog itu, sederhananya, adalah kejernihan dan kefasihan penyair yang sedang berjuang melawan kealpaan dan kelalaian. Terjemahan ini adalah upaya untuk menghadirkannya kepada publik Indonesia—agar kita dapat menjadi pembaca yang turut merasa tertantang oleh suara-suara yang selama ini mungkin asing di layar, tetapi dekat dalam nurani.
Teks Terjemahan
Tahun 2021 aku katakan: pembebasannya sepenuhnya adalah mungkin. Lalu ketika perang ini pecah pada 2023, aku katakan: ia telah dimulai. Sekarang, aku katakan: ia sudah dekat. Dan peluang Iran untuk menang—selama kita tidak saling mengkhianati—lebih besar dari peluang Israel, bahkan dengan dukungan Amerika Serikat.
Maka dengarkan aku beberapa menit saja, lalu putuskan sendiri.
Pertama, ini adalah perang ketahanan—dan Iran lebih mampu bertahan daripada Israel. Iran lebih luas wilayahnya, lebih besar populasinya, dan tekanan militer tidak akan menyebabkan perubahan demografis di dalamnya. Rakyatnya bukan pendatang yang diimpor karena tempat itu aman bagi mereka. Adapun Israel, hanya dua hari pengeboman sudah cukup membuat pemerintahnya melarang rakyatnya pergi—karena mereka tahu banyak yang akan pergi. Kepergian itu akan mengancam kemampuan negara untuk merekrut tentara dan mengelola ekonominya. Dan kenyataannya, mereka memang pergi—ironisnya, lewat laut ke Eropa.
Kedua, dampak politik dari perang di Iran berbeda dari di Israel. Berperang melawan musuh di tanah air sendiri justru memperkuat legitimasi pemerintah. Di Iran, bahkan oposisi berkumpul mendukung kepemimpinan mereka. Sementara di Israel, rakyat menangguhkan penilaian terhadap pemerintahnya sampai hasil perang terlihat.
Ketiga, sekutu Iran lebih membutuhkan Iran daripada sekutu Israel membutuhkan Israel. Bahkan—ya, bahkan Amerika Serikat. Israel sebelumnya bertaruh pada kudeta militer di Iran—oleh orang-orang yang sebelumnya membantu membunuh presiden Iran, menteri luar negeri, dan para pemimpin perlawanan Palestina dan Lebanon. Mereka mengulur partisipasi penuh Iran dalam perang ini, berharap pukulan pertama dan gugurnya para komandan IRGC bisa dijadikan dalih untuk menggulingkan rezim. Tapi mereka gagal. Mereka terbongkar sejak hari pertama. Dan nasib yang menimpa Israel serta para agennya adalah nasib biasa bagi mereka yang mencoba kudeta yang gagal.
Kegagalan ini membuka mata para sekutu Iran: Target Israel bukan sekadar menghentikan proyek nuklir atau rudal—yang Iran pasti bisa bangun kembali. Tujuannya adalah menggulingkan pemerintahan Iran dan menggantinya dengan rezim yang loyal pada Israel dan AS.
Sekarang, lihatlah peta.
Kelangsungan rezim Iran sangat penting bagi Moskow, Beijing, dan Islamabad. Bahkan lebih penting daripada kelangsungan Israel bagi Washington.
Pakistan: Pemerintah India saat ini adalah musuhnya, dan sekutu Israel serta AS. Jika rezim pro-Israel berkuasa di Tehran, ia akan jadi sekutu India—menjebak Pakistan di antara dua India. Ini ancaman eksistensial bagi Pakistan dan program nuklirnya. Maka kepentingan vital, bahkan keberadaan Pakistan sendiri, mengharuskan mereka mendukung Tehran dan mencegah perubahan rezim.
China: Rezim pro-AS di Tehran akan memutus jalur China ke Asia Barat. Ia akan menghentikan proyek Sabuk dan Jalan yang vital bagi perdagangan dan pengaruh global China. Melemahkan Islamabad akan menguatkan India, rival berat China.
Rusia: Jika kehilangan Iran, Rusia akan kehilangan satu-satunya jalur ke laut hangat, ke Teluk dan Samudra Hindia. Setelah kehilangan Balkan dan hampir kalah di Suriah, Rusia tidak akan membiarkan ini. Rezim pro-Barat di Tehran akan mengancam integritas teritorial Rusia di Kaukasus yang kaya minyak. Rusia juga bergantung pada bantuan Iran di Ukraina dan pada aliansi mereka di Asia Tengah.
Adapun Israel: Meski didukung AS, kondisi politik dan ekonomi AS saat ini tidak mendukung perang baru di Timur Tengah. Dua invasi sebelumnya—ke Irak dan Afghanistan—gagal. Presidennya pun tak bersemangat, begitu pula para pemilihnya.
Memang, intervensi AS mungkin terjadi—bahkan mungkin sebelum pesan ini selesai ditayangkan. Tapi kemungkinan besar hanya sebatas dukungan udara dan intelijen. Itu tidak akan bisa mengganti rezim atau menghentikan hujan roket. Kita telah melihatnya di Gaza dan Lebanon.
Pergantian rezim tak bisa dilakukan dari udara. Ia memerlukan invasi darat. Tapi baik Israel maupun AS tidak berniat dan tidak mampu melancarkan invasi ke Iran. Terutama setelah kegagalan mereka di Irak dan Afghanistan—dua negara yang lebih kecil, lebih sedikit penduduknya, dan lebih terpecah dibanding Iran.
Kalau pun ada invasi darat, ia harus datang dari laut—karena tidak ada negara di perbatasan Iran yang akan mengizinkan musuh mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Padahal invasi laut terbesar sepanjang sejarah (Normandia) hanya melibatkan 150.000 tentara. AS butuh dua kali lipatnya untuk menduduki Irak—dan gagal. Bagaimana mungkin dengan Iran?
Maka, pencapaian target langsung Israel dalam perang ini—bahkan dengan bantuan AS—hampir mustahil.
Itu soal kekalahan Israel. Sekarang soal kemenangan Iran. Apakah ia pasti?
Aku ulangi lagi: dalam perang, semua kemungkinan terbuka. Kemenangan tergantung pada apakah kita akan saling mengkhianati.
Maka biarlah ini didengar oleh setiap orang Arab dan Iran, baik rakyat maupun pemimpin:
Seperti halnya kemenangan Israel hanya mungkin dengan menjatuhkan rezim Iran—dan itu hampir mustahil— maka kemenangan Iran hanya mungkin dengan menjatuhkan rezim Israel—dan itu mungkin.
Ini perang total. Bahkan jika besok datang gencatan senjata—atau sepuluh gencatan sekalipun—perang ini akan terus berlanjut.
Jika gencatan datang sebelum rezim Israel runtuh, maka ia akan terus mencoba menjatuhkan Iran lewat cara lain: infiltrasi, adu domba sektarian, sabotase, dan sebagainya. Musuh ini bahkan lebih berbahaya dalam damai daripada dalam perang.
Gencatan senjata di Lebanon sudah memberi pelajaran. Begitu juga Gaza, di mana genosida lewat kelaparan dan blokade terus berlangsung meskipun ada “gencatan senjata.”
Dalam perang ini, bahkan gencatan senjata adalah senjata. Ia adalah alat penghianatan dan pembunuhan.
Dan jangan lupa: Israel sendiri lahir dari gencatan 77 tahun lalu.
Ini perang total. Dan jika gencatan datang, ia hanya akan berhenti sementara—sampai salah satu dari dua rezim ini menggulingkan yang lain.
Kemenangan mutlak Iran adalah kepentingan umat seluruhnya—karena alternatifnya adalah bencana.
Perang ini terjadi karena Israel menghadapi dua ancaman eksistensial:
Poros Perlawanan yang dipimpin Iran.
Mayoritas Arab di Palestina.
Jika Israel berhasil menghancurkan Perlawanan dengan menyerang Iran—atau jika berhasil meraih gencatan untuk menghela napas—ia tidak akan berhenti. Ia akan beralih ke ancaman kedua: mayoritas Arab di Palestina, dengan Gaza sebagai ujung tombaknya.
Israel akan mendorong warga Gaza ke Mesir, mengabaikan perjanjian damai. Jika berhasil, ia akan mengusir warga Tepi Barat ke Yordania. Dan setelah menghabisi para pejuangnya, ia pasti akan menyerang mereka yang damai.
Inilah yang dimaksud Perdana Menteri Israel ketika berkata ia akan mengubah peta kawasan.
Mesir adalah target pertama. Lalu Yordania karena dekat dengan Tepi Barat. Lalu Suriah—karena Israel ingin membaginya. Lalu Turki—karena negara Kurdi pro-Israel di sungai Eufrat akan mengancam kesatuan wilayahnya.
Presiden Turki benar saat mengatakan: Gaza sedang membela Anatolia.
Perseteruan ini total: Antara Israel dan Iran, Gaza, Lebanon, Irak, Yaman. Dan juga antara Israel dan Mesir, Yordania, Suriah, Turki.
Kini, bahaya menyentuh semua: pejuang dan damai. Wahai bangsa Arab, kalian semua hari ini adalah Palestina—suka atau tidak.
Bahkan negara-negara Teluk: Israel yang agresif dan serakah mengancam kalian semua—sekutu AS maupun penengahnya. Ia tidak butuh penengah atau sekutu—hanya butuh pengikut. Dan kekayaan kalian adalah incarannya.
Rezim baru yang diharapkan Israel lahirkan di Tehran pun akan jadi lebih strategis dari siapa pun di Teluk. Ia punya minyak dan gas, posisi geografis, dan bobot geopolitik—mengesampingkan peran semua sekutu lainnya.
Maka, bertaruh pada Iran bukan hanya soal kehormatan, agama, atau nasionalisme—tapi soal membela diri. Bertaruh pada Iran adalah kewajiban. Dan itu taruhan yang menguntungkan—selama kita tidak saling mengkhianati.
Keterlibatan negara-negara Arab garis depan adalah satu-satunya cara untuk menjamin kelangsungan hidup mereka sendiri.
Bahaya itu satu.
Ini perang hidup-mati. Tanyakan siapa yang lapar strategis terhadap tanah kalian? Siapa yang ingin memukimkan pengungsi Palestina di negeri kalian?
Demi Allah—jika Israel capai tujuannya, tidak ada satu pun dari kalian yang akan punya ibu kota yang aman.
Demi Allah, aku bersumpah. Aku menyeru kalian—rakyat dan tentara, penguasa dan rakyat biasa: Lakukan semua yang kalian bisa untuk mengalahkan musuh—baik saat peluru berdesing atau senjata diam. Karena keselamatanmu dan keluargamu bergantung padanya—cepat atau lambat.
Jangan tertipu oleh perdamaian musuh—ia takut, ketakutan yang dalam. Dan ia tidak akan pernah percaya pada kita lagi. Maka kita pun jangan pernah percaya padanya.
Waktunya tidak bisa ditunda lagi.
Pembebasan Palestina dari sungai ke laut kini hanya butuh satu hal: menjatuhkan rezim di negara di mana kita adalah mayoritas. Perubahan penguasa dan hukum. Itu mungkin. Itu dekat. Asal kita tidak saling mengkhianati.
Tapi jika kita gagal dan Israel berhasil menggusur rakyat, maka pembebasan ke depan akan butuh perubahan demografi yang butuh waktu ratusan tahun.
Inilah momen kita: Menang—atau mengabadikan penjajahan selamanya.
Musuh tahu ini. Dan ia mengatakannya terus terang.
Maka pilihlah posisi kalian. Ingat: ini adalah dendam umat. Siapa yang mendahulukan dendam pribadi atas dendam umat—itu pengkhianat.
Sekarang, satu-satunya senjata musuh adalah sektarianisme dan perpecahan.
Maka berdirilah di pihak mana pun kalian mau. Tapi ketahuilah: netralitas kalian adalah hadiah kepada musuh.
Israel telah membuat kesalahan terbesar—kedua setelah pendiriannya: ia mengaitkan kelangsungannya dengan kehancuran para pejuang dan yang damai sekaligus.
Jangan maafkan kesalahan ini—atas alasan apa pun. Karena jika ia menguasai kalian, ia tak akan memaafkan kalian.
Aku diam sejak gencatan senjata di Lebanon—bukan karena ragu, tapi karena bukti belum muncul. Dan aku tidak akan berdalil dengan janji kosong.
Tapi kini, buktinya sudah jelas.
Segala yang aku katakan soal Mesir, Syam, dan Palestina selama 15 tahun terakhir telah terjadi.
Ini kabar baik—dan ini peringatan. Kemenangan penuh mungkin. Kekalahan penuh juga mungkin.
Ini perang total. Siapa pun yang berpikir sebaliknya sedang tertipu.
Pilihlah posisi kalian.
Dan aku tutup dengan kutipan dari pesanku pertama dalam perang ini: “Pembebasan sepenuhnya telah dimulai.”
Musuh hanya akan menang jika kita tidak menjadikan perang ini perang semua orang. Jika kita saling meninggalkan, dan membiarkan satu per satu dari kita dibunuh—sambil menunggu giliran.
Kita harus semua melawan—sekaligus dan sekarang. Agar kita tidak dibunuh satu per satu.
Aku tidak mengajak kalian pada bahaya sembari duduk nyaman. Aku memperingatkan bahaya yang menyamar sebagai rasa aman.
Konfrontasi hari ini adalah cara terbaik untuk selamat. Siapa yang menunda hari ini, musuh tidak akan menundanya esok.
Apa yang benar dua tahun lalu masih benar hari ini.
Pembebasan penuh itu mungkin. Dan ia ada di tanganmu—ya, kamu yang melihat dan mendengar aku sekarang.
Jangan remehkan kekuatanmu. Sebuah bangsa lebih kuat dari bagian mana pun darinya—bahkan jika bagian itu bersenjata dan penuh gelar.
Jika kamu tidak mengkhianati dirimu sendiri, maka pembebasan sepenuhnya itu mungkin. Pembebasan sepenuhnya telah dimulai. Pembebasan sepenuhnya kini sudah dekat. Aku katakan: ia sudah dekat. Dan kedekatannya—sepenuhnya—bergantung padamu. []
Catatan Kaki:
- Tamim al-Barghouti dikenal luas di dunia Arab sebagai penyair perlawanan. Puisinya “In Jerusalem” menjadi sangat populer setelah ia membacakannya dalam sebuah episode program televisi Arab pada 2007, dan sering diputar dalam demonstrasi dan ruang-ruang publik sebagai simbol pengingat Palestina.
- Pidato ini pertama kali disiarkan pada 22 Juni 2025 melalui kanal YouTube resmi Tamim al-Barghouti. Dalam waktu kurang dari 48 jam, ia ditonton lebih dari 85 ribu kali, dibagikan ribuan kali di platform seperti Telegram dan WhatsApp, dan dikutip oleh sejumlah tokoh Palestina dan Lebanon.
- Konteks pidato ini adalah meningkatnya kemungkinan perang regional besar antara Israel dan Iran, menyusul pembunuhan sejumlah tokoh penting Iran dan Hizbullah serta agresi Israel yang berkelanjutan ke Gaza sejak awal tahun 2025.
- Monolog ini membangun argumennya dengan struktur “zero-sum conflict”—yaitu posisi bahwa tidak ada kompromi yang mungkin antara proyek penjajahan dan keberlangsungan komunitas-komunitas yang ditindas.
- Barghouti menyebut nama-nama negara seperti Pakistan, China, Rusia, dan Turki bukan hanya dalam konteks aliansi politik, tetapi untuk menunjukkan bahwa pertarungan yang sedang berlangsung adalah soal konstelasi geopolitik yang menentukan apakah kawasan Muslim akan tetap memiliki kedaulatan atau sepenuhnya didominasi oleh kepentingan imperial Barat.
- Dalam tradisi retorika Arab, repetisi dan interpelasi langsung kepada pendengar adalah bagian penting dari membangun etos dan pathos. Struktur pidato ini memanfaatkan elemen-elemen itu dengan penuh presisi.
- Terjemahan ini mempertahankan struktur retorika aslinya dan hanya melakukan adaptasi semantik agar lebih dapat dirasakan oleh pembaca Indonesia, tanpa mengurangi intensitas atau arah argumen.
- Pidato ini dapat dibandingkan dengan pidato-pidato historis seperti “Ceramah Ashura” dari Sayyid Hasan Nasrallah, “Karbalāʾ” dari Ali Shariati, atau bahkan teks-teks teologis politik yang lebih klasik. Ia adalah bagian dari warisan sastra perlawanan Islam kontemporer.