“Ngaji Akidah” Tapi Gagal Baca Realita


Oleh: Taufiqurrahman al-Azizy

Ahlulbait Indonesia — Di tengah hiruk pikuk konflik Timur Tengah dan kampanye solidaritas untuk Palestina, sebuah fenomena aneh muncul di tengah masyarakat Muslim Indonesia: kecurigaan yang akut terhadap siapa saja yang mengambil sikap anti-Zionis, jika orang atau kelompok itu tidak berasal dari manhaj yang mereka anggap sahih. Ini bukan soal siapa yang menembakkan rudal atau menyuplai logistik ke Gaza, tapi soal apakah ia sudah “ngaji akidah” dengan versi tertentu.

Fanatisme teologis, yang dalam batas tertentu bisa menjadi kompas keyakinan individu, kini berkembang menjadi penghambat empati lintas batas. Ketika Iran menyerang Israel secara langsung, bukan apresiasi strategis yang muncul dari sebagian kelompok Islamis Indonesia. Yang terjadi justru kecemasan: “Jangan-jangan ini cara Syiah menipu umat.” Ini bukan sekadar paranoia. Ini adalah gejala kronis dari cara berpikir sektarian yang gagal membaca konteks geopolitik.

Yang lebih menyedihkan, sebagian besar umat yang rajin membagikan poster-poster solidaritas Palestina justru menjadi skeptis ketika pembelaan itu datang dari pihak yang berbeda doktrin. Iran dianggap punya agenda lain. Hizbullah dianggap sesat. Houthi bahkan tak disebutkan sama sekali, padahal mereka juga mengarahkan rudal ke wilayah Israel. Semua itu tak penting karena—sekali lagi—mereka belum tentu sejalan dengan ustaz favorit di YouTube.

Fenomena ini bukan hanya menyedihkan, tapi berbahaya. Ia melumpuhkan kesadaran kolektif bahwa perjuangan melawan penjajahan seharusnya melampaui batas-batas tafsir. Ketika seseorang lebih resah terhadap afiliasi mazhab si pejuang dibanding realitas penjajahan yang ia lawan, maka sebenarnya yang sedang diperjuangkan bukanlah kemerdekaan Palestina, tapi dominasi ideologis pribadi.

Narasi yang berkembang di banyak kanal dakwah digital juga tidak membantu. Banyak ustaz justru menambah bensin ke dalam bara sektarianisme ini. Alih-alih menjelaskan dinamika geopolitik dan pentingnya solidaritas taktis, mereka justru mengulang-ulang wacana lama tentang Syiah, Rafidhah, dan fitnah akhir zaman. Alhasil, umat dijejali dengan ketakutan, bukan wawasan. Mereka lebih mengenal mitos tentang Iran ketimbang fakta tentang pendudukan Israel.

Lebih dari itu, ada logika implisit yang sering tak disadari: bahwa perlawanan hanya sah jika dilakukan oleh mereka yang sudah “lulus” uji kesalehan ideologis versi tertentu. Dalam logika ini, tak penting seberapa besar pengorbanan yang dilakukan Hizbullah, misalnya. Selama mereka bukan dari manhaj yang sama, maka seluruh perjuangannya batal demi hukum. Ini adalah bentuk pengingkaran realitas yang nyaris mirip dengan dogmatisme agama dalam bentuk yang paling stagnan.

Logika seperti ini menutup ruang-ruang aliansi yang justru krusial dalam perjuangan pembebasan. Kita lupa bahwa gerakan kemerdekaan, baik di Aljazair, Vietnam, maupun Afrika Selatan, tak pernah berdiri di atas kemurnian ideologi tunggal. Mereka menang justru karena mampu membangun koalisi taktis, lintas ideologi, lintas keyakinan. Mandela tak pernah menanyakan aqidah para demonstran di Eropa. Ho Chi Minh tak menolak dukungan komunis Prancis atau sosialis Jepang hanya karena mereka “beda kitab”.

Namun di sini, di negeri yang konon religius, umat Islam terlalu sibuk menjaga pagar teologis sampai lupa bahwa yang sedang mereka jaga bukan Palestina, melainkan egoisme doktrinal. Bahkan ketika lawan Zionisme menembakkan rudal, umat lebih sibuk memeriksa sanad dan riwayat ketimbang mengakui keberanian taktisnya. Mereka seperti penonton sepak bola yang memaki penendang penalti hanya karena bukan dari klub yang mereka dukung—padahal gol sudah tercipta.

Ketakutan terhadap infiltrasi Syiah, misalnya, lebih menyerupai paranoia kolektif daripada strategi politik. Ia diperkuat oleh video-video potong-potong, narasi ustaz clickbait, dan trauma sejarah yang tidak pernah dikontekstualisasikan. Ketimbang memahami dinamika kekuasaan di Iran atau hubungan ideologis antara Hizbullah dan rakyat Lebanon, kita lebih sibuk mengutip ceramah 10 tahun lalu yang viral di TikTok.

Diskursus ini kemudian diperkuat oleh platform media sosial yang mengamplifikasi konten sektarian karena ia mudah diklik, dibagikan, dan ditelan tanpa filter. Umat menjadi korban algoritma, di mana yang paling emosional justru paling menjangkau. Perdebatan tidak terjadi karena kehausan terhadap pengetahuan, melainkan karena ketakutan terhadap keterbukaan. Akibatnya, umat merasa cukup belajar dunia dengan modal satu video dan satu guru. Padahal dunia jauh lebih kompleks dari seminar dua jam.

Kita perlu membangun kembali tradisi berpikir kritis dalam Islam—sebuah tradisi yang justru hidup dan berkembang pada masa kejayaan Islam klasik. Kita pernah punya warisan perdebatan produktif antara mazhab, filsuf, dan ilmuwan. Kini, semuanya menyusut menjadi sekadar benar atau sesat. Dan ironisnya, yang menentukan itu bukan ulama, tapi akun dakwah viral.

Kita juga harus menyadari bahwa penjajahan tidak mengenal mazhab. Israel tidak peduli siapa Sunni, siapa Syiah. Yang mereka hadapi adalah siapa pun yang menolak pendudukan. Maka pertahanan terhadap Palestina pun seharusnya terbuka untuk siapa saja yang bersedia melawan, dengan cara apa pun. Jika kita masih sibuk menyortir siapa yang layak disebut pejuang, maka mungkin kita tidak sedang berjuang. Kita sedang menjaga agar eksklusivitas keyakinan kita tetap steril dari kenyataan.

Kita sering menyebut istilah “ukhuwah Islamiyah”, namun gagal dalam praktik. Ukhuwah itu kerap berhenti pada slogan, tidak sampai ke strategi bersama. Kita mudah sekali mencoret sesama Muslim dari daftar kawan hanya karena beda kata pengantar buku tafsir. Padahal, musuh bersama sudah lama menyusun strategi, membangun aliansi, bahkan menormalisasi relasi diplomatik tanpa ribut soal teologi. Sementara itu, kita? Masih sibuk debat antara “bolehkah mengucapkan selamat Natal?” dan “apakah Syiah lebih berbahaya daripada Zionis?”

Sudah saatnya kita berhenti menanyakan: “Siapa dia? Apa manhajnya?” dan mulai bertanya: “Apa yang ia lakukan? Apa dampaknya bagi perjuangan?” Dunia sedang bergerak, dan perjuangan Palestina bukan hanya milik satu kelompok, satu sekte, atau satu gaya dakwah. Ia milik semua yang bersedia melawan penindasan, bahkan jika harus menantang kenyamanan kita sendiri.

Dan jika kita tetap kukuh pada fanatisme akidah yang membutakan mata terhadap realitas penjajahan, maka kita sedang mencetak generasi yang hanya berani menolak di grup WhatsApp, tapi tak pernah bersuara di forum internasional. Generasi yang fasih dalam doa, tapi gagap dalam diplomasi. Generasi yang sibuk menyalakan alarm fitnah akhir zaman, tapi tak pernah bersedia turun ke medan solidaritas.

Palestina butuh perlawanan, bukan penilaian. Dunia butuh keberanian kolektif, bukan tafsir yang menyingkirkan. Dan umat ini, jika ingin tetap relevan dalam sejarah perlawanan global, harus mulai belajar membaca kenyataan sebagaimana adanya: kompleks, dinamis, dan penuh kejutan.

Jika tidak, maka kita hanya akan jadi umat yang rajin ngaji akidah, tapi terus gagal baca realita. []

Taufiqurrahman al-Azizy, penulis dan novelis yang telah menerbitkan lebih dari 200 buku. Pemerhati isu sosial-politik dan media digital.



Source link

TERKINI

EDUKASI