Pesan Imam Khamenei dan Rekonstruksi Kekuasaan Global


Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia — Ketika gema serangan rudal masih bergema di langit Iran dan darah para syuhada belum kering di tanah Persia, dunia menyaksikan konfrontasi strategis antara dua kutub kekuasaan yang semakin mengeras. Di satu sisi, arogansi Washington dan Tel Aviv yang merasa telah meraih kemenangan taktis atas musuh lama mereka. Di sisi lain, dari jantung Republik Islam, muncul suara yang tenang namun mengguncang. Pesan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei yang mengubah momentum sejarah.

Seperti badai yang lahir dari ketenangan laut, dari pesan inilah gelombang perlawanan sesungguhnya dimulai.

Tiga Dimensi Pesan Bersejarah

Pesan Imam Khamenei yang disampaikan kepada rakyat Iran beberapa jam setelah lebih dari 200 target di Iran dihantam rudal Zionis pada Jumat (13/6), bukan sekadar ungkapan duka. Pesan tersebut merupakan deklarasi tiga dimensi: spiritual, psikologis, dan strategis.

“Kami tidak akan berkompromi sedikit pun. Mereka yang memulai, merekalah yang akan menanggung akibatnya. Kekuatan bersenjata Republik Islam akan menghantam musuh dengan pukulan telak,” tegas Ayatullah Khamenei (Mehr, 2025)

Pernyataan ini bukanlah retorika kosong, melainkan kelanjutan narasi perlawanan yang dibangun sejak Revolusi 1979. Kini, narasi tersebut beresonansi dalam medan konfrontasi baru, dari krisis internal entitas Zionis, runtuhnya kredibilitas Amerika, hingga kebangkitan Poros Perlawanan dari Dahiyeh hingga Sanaa.

Donald Trump, yang biasa lantang memamerkan gertakan lewat media sosial, kali ini memilih diam. Diam yang sarat makna. Menurut Al Jazeera (14/6/2025), dalam pertemuan tertutup di Mar-a-Lago, Trump secara tegas menolak permintaan Netanyahu untuk menambah bantuan militer pasca serangan balasan Iran.

Ini bukan sekadar kelelahan strategis, melainkan krisis psikologis yang mendalam. Netanyahu kini terjebak antara kegagalan operasional dan kebuntuan politik. Haaretz melaporkan meningkatnya keresahan publik Israel akibat kegagalan sistem Iron Dome menghadang gelombang rudal Iran. Di balik propaganda dan manuver militer, yang sesungguhnya terjadi adalah disorientasi strategis dan erosi kepercayaan diri. Benteng psikologis yang menopang superioritas Israel mulai retak dari dalam.

Iran sebagai Aktor Sejarah

Di era ketika narasi lebih tajam dari misil, yang mampu menafsirkan realitas dan membingkainya secara etis akan menjadi pengarah sejarah. Dalam pesannya, Imam Khamenei tidak sekadar berbicara, beliau membalik naskah dominan yang selama ini ditulis oleh Barat. Iran bukan ancaman, Iran adalah jawaban. Iran bukan korban, Iran adalah aktor sejarah yang menentukan arah.

Pesan itu melampaui langit Teheran. Gaungnya menyentuh Gaza yang terkepung, Beirut yang siaga, Sanaa yang bertahan, dan bahkan ruang-ruang diskusi global dari Yale hingga Khan Younis. Menurut Middle East Eye (2025), pesan tersebut menjadi perbincangan hangat di berbagai forum lintas benua, moral politics menemukan episentrumnya di Teheran.

Serangan ke jantung simbolik Israel di Tel Aviv, Haifa dan Yerusalem bukan sekadar aksi balasan. Operasi tersebut merupakan tafsir strategis atas sebuah pesan bahwa kehendak politik mampu menaklukkan sistem pertahanan tercanggih. Ini adalah manifestasi active deterrence, sebuah pencegahan berbasis aksi langsung yang menandai berakhirnya era dominasi sepihak.

The New York Times mencatatnya sebagai operasi langsung terbesar Iran terhadap entitas Zionis sejak 1979. Dampaknya tidak hanya menciptakan kerusakan fisik, tetapi juga mengguncang arsitektur kekuasaan global yang selama ini tampak tak tergoyahkan.

Namun, lebih mengguncang dari rudal adalah tekad. Lebih tajam dari misil adalah keberanian moral. “Rezim Zionis telah melakukan kesalahan fatal dan tindakan kriminal yang akan berujung pada kehancuran mereka sendiri, dengan izin Allah,” tegas Ayatullah Khamenei dengan nada yang menyerupai vonis sejarah ketimbang sekadar peringatan. Inilah kekuatan yang tidak dapat diblokade, disanksi, atau direkayasa di Dewan Keamanan PBB.

Pesan Imam Khamenei bukan sekadar respons atas serangan, melainkan produksi paradigma baru, sebuah rekonstruksi makna kekuatan dalam lanskap geopolitik yang sedang mengalami transformasi fundamental. Dalam pernyataannya, kekuatan didefinisikan ulang; dari dominasi menuju legitimasi, dari superioritas senjata menuju keberanian moral. Sebuah pembalikan mendasar terhadap doktrin Barat yang menjadikan kekuasaan sebagai monopoli senjata dan kapital.

Ketika Washington tergagap dan Tel Aviv gemetar, dunia menyimak Teheran, bukan karena volume senjatanya, tetapi karena bobot historis dan keberanian moralnya. Pesan tersebut menyentuh tidak hanya telinga para pemimpin, tetapi kesadaran kolektif umat yang selama ini terdiam dan kini mulai bangkit.

Kata sebagai Senjata Peradaban

Imam Khamenei tidak hanya berbicara kepada rakyat Iran. Beliau berbicara kepada sejarah dan kepada umat manusia yang selama ini diyakinkan bahwa Barat adalah satu-satunya pusat nalar dan kekuasaan. Dari puing-puing yang dibombardir, dari darah para syuhada, dari suara seorang ulama tua penjaga Wilayah dan Hikmah, lahirlah sebuah dunia baru. Dunia yang tidak tunduk pada logika imperialisme, tetapi dibangun dari bahasa kehormatan dan perlawanan.

Ketika langit bergetar, lidah kekuasaan pun mulai terbata. Sebab kekuatan sejati bukan hanya tentang siapa yang menyerang lebih dulu, tetapi siapa yang tetap bersuara ketika seluruh dunia berusaha membungkamnya.

Inilah era ketika satu kalimat jujur dapat lebih menggetarkan dunia daripada seribu rudal canggih. Dan sejarah, pada akhirnya, selalu berpihak kepada mereka yang tak gentar mengucapkannya.[]



Source link

TERKINI

EDUKASI