Ahlulbait Indonesia – Ghadir bukan sekadar kenangan. Menjadi pengikut Ahlul Bait berarti bergabung dalam sebuah tatanan sosial yang dipimpin oleh Imam Zaman. Untuk menjadi bagian yang produktif dari tatanan tersebut, kita perlu bergerak secara terorganisir, membangun lembaga, dan menyebarkan kesadaran tentang pentingnya menjaga serta menghidupkan risalah Ghadir. Demikian salah satu penggalan pidato Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya, dalam peringatan Ghadir Khum yang digelar pada 15 Juni 2025.
Berikut pidato lengkapnya.
Setelah menyapa para pemirsa, kaum Muslimin sebangsa dan setanah air, Ustadz Zahir Yahya memulai pidatonya sebagai berikut:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah alladza ja‘alana minal mutamassikina bi wilayati Amiril Mu’minin ‘Ali Ibni Abi Thalib.
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita tergolong orang-orang yang berpegang teguh dengan wilayah Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib, dan wilayah para Imam sesudahnya dari kalangan Ahlul Bait Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa alihi.”
Para pemirsa,
Lebih dari 14 abad yang lalu, tepatnya dalam perjalanan pulang seusai melaksanakan upacara ibadah haji, Rasulullah menghentikan kafilah yang menyertainya di sebuah tempat dekat danau kecil yang dikenal dengan sebutan Ghadir Khum, tepat sebelum rombongan mencapai titik persimpangan yang memisahkan jamaah haji yang datang dari negeri Hijaz, Irak, dan Syam.
Beliau meminta agar dibangun sebuah panggung ala kadarnya, agar suara beliau bisa terdengar oleh puluhan ribu kaum Muslimin yang bersamanya. Rasulullah mengawali pidato bersejarahnya dengan terlebih dahulu meminta pengakuan dan penegasan kembali dari kaum Muslimin mengenai prinsip-prinsip agama: tentang Tauhid, Kenabian, dan Hari Akhir.
Kemudian mendapatkan posisi dirinya sebagai sosok pemimpin yang harus diikuti oleh kaum Muslimin, setelah mendengar pengakuan tegas dari kaum muslimin yang hadir, Rasulullah yang mengisyaratkan bahwa ia akan segera memenuhi panggilan Tuhannya, mendeklarasikan dengan suara lantang: “Man kuntu maulahu fa hadza ‘Aliyyun maulah.”
“Barang siapa aku walinya, maka Ali juga walinya.”
Para pemirsa,
Peristiwa Deklarasi Ghadir merupakan tonggak penting sejarah bagi kelangsungan kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Setidaknya terdapat dua sudut pandang dan dua aspek peristiwa bersejarah tersebut. Yang pertama terkait dengan event dan kejadian peristiwanya itu sendiri, yang digelar dikelola dan dilaksanakan langsung oleh sosok Nabi Muhammad SAW, dan yang kedua, terkait dengan kesinambungan pesan dan risalah Deklarasi tersebut yang diperjuangkan oleh para Imam Ahlul Bait a.s, dan juga oleh para pengikut mereka sepanjang sejarah. Yang menarik adalah bahwa kedua aspek tersebut aspek pelaksanaan dan juga aspek kesinambungan, merupakan manifestasi nyata dari sikap Perlawanan yang melandasi kehidupan dan seluruh perjuangan para Imam Ahlul Bait dan juga gerakan para pengikut mereka sepanjang sejarah hingga hari ini. Ketika peristiwa Deklarasi Ghadir hendak digelar dan dilaksanakan guna mempertegas kewalian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dan persoalan suksesi kepemimpinan Ilahi hendak diumumkan oleh Rasulullah SAW, situasi sosial politik umat Islam pada saat itu tidak memungkinkan, dan menyimpan resiko untuk melaksanakan hal tersebut.
Pernyataan sekaligus janji Allah yang mengawali peristiwa tersebut, seperti dalam Firman-Nya; “Yâ ayyuhar-rasûlu balligh mâ unzila ilaika mir rabbik, wa il lam taf‘al fa mâ ballaghta risâlatah, wallâhu ya‘shimuka minan-nâs….”
(“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari ancaman manusia….“).
Ayat tersebut benar-benar menunjukkan bahwa situasi yang mengawali penyampaian Deklarasi tentang kewalian Ali bin Abi Thalib, adalah situasi yang tidak kondusif dan menyimpan resiko. Itulah kenapa peristiwa Deklarasi Ghadir, memerlukan sikap Perlawanan seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah dengan kuat dan gigih. Nah, apabila peristiwa Ghadir, menunjukkan sikap Perlawanan dari sosok Rasulullah, kesinambungan dari risalah Ghadir yang diperankan oleh para Imam, juga menunjukkan sikap Perlawanan bahkan yang lebih kuat dan lebih gigih seperti yang ditunjukkan oleh para Imam, yang seluruh kehidupan mereka, seluruh kegiatan mereka bertujuan untuk melawan sistem yang berkuasa di zaman mereka, yang berseberangan jauh dengan sistem kepemimpinan Ilahi.
Setengah abad pasca Deklarasi Ghadir, Al-Husain, cucu Rasulullah memperjuangkan kesinambungan risalah Deklarasi Ghadir melalui medan Jihad, Perlawanan dan pengorbanan meski harus berujung secara tragis dengan pembunuhan seluruh keluarga Rasulullah pada saat itu. Dan setengah abad kemudian, 50 tahun sesudah peristiwa kebangkitan Karbala, kehidupan para Imam Ahlul Bait seperti Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Jafar as-Shadiq yang telah berhasil meletakkan tonggak revolusi budaya, ilmu, dan pemikiran di dunia Islam pada saat itu, jika kita perhatikan secara seksama, kegiatan, fokus kegiatan dan gerakan mereka adalah dalam rangka melawan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah yang jauh bertentangan dengan kepemimpinan Ilahi.
Itulah kenapa kita saksikan para penguasa di saat itu, tidak segan-segan untuk memusuhi, menganiaya, bahkan menghabisi nyawa mereka yang berjuang untuk kelangsungan dan kesinambungan risalah deklarasi Ghadir.
Para pemirsa,
Di zaman ini mereka yang membawa panji wilayah Ali bin Abi Thalib dan keluarga Nabi, dari Bairut ke Damaskus, hingga Baghdad, dari Teheran ke Gaza hingga Sana’a, mereka tidak membentuk Bulan Sabit, atau Poros Politik Sektarian, melainkan membentuk Poros Perlawanan guna melawan hegemoni kekuatan setan, dan memperjuangkan serta menjaga risalah Deklarasi Ghadir, meskipun harus ditebus dengan hujan bom dan rudal, dan gugurnya para Syuhada. Jalan dari Ghadir Khum ke Karbala dan dari Karbala ke Gaza, bukanlah jalan romantisme sejarah, melainkan jalan Perlawanan yang sarat dengan pengorbanan, dan gugurnya para Syuhada, meski tetap terang benderang dengan cahaya Wilayah. Oleh sebab itu, sebagai pengiman Deklarasi Ghadir, kaum mukminin harus menjadikan sikap perlawanan sebagai garda terdepan dalam setiap aktivitas gerakan sosial dan keilmuan mereka, karena risalah Deklarasi Ghadir hanya bisa dijaga dengan mengedepankan sikap Perlawanan.
Peristiwa Ghadir bukanlah semata-mata kenangan, atau bahkan nostalgia untuk diingat dan kemudian diabaikan. Menjadi pengikut Ahlul Bait berarti memasuki sebuah tatanan sosial dengan kepemimpinan Ilahi seperti kepemimpinan Sahibul Asri waz Zaman (Ajalallahu Taala Farajahu Syarif), dan untuk menjadi bagian yang produktif dari tatanan tersebut, tentu kita harus bergerak secara kelembagaan, dalam rangka bisa bersama-sama memperjuangkan risalah Deklarasi Ghadir yang kita rayakan pada hari ini.
Para pemirsa,
Peristiwa Deklarasi Ghadir memiliki kapasitas untuk melembagakan budaya Perlawanan, pengorbanan, dan semangat anti penindasan.
Apabila dipahami dengan benar maka Deklarasi Ghadir juga mampu mengatasi berbagai tantangan sosial dan budaya masyarakat pengikut Ahlul Bait di manapun mereka berada. Selama umat Islam mencintai Ali bin Abi Thalib, mencintai Al-Husain mencintai Imam Mahdi, maka risalah Deklarasi Ghadir akan tetap hidup, hingga kezaliman tumbang, dan dunia dipimpin oleh keadilan Ilahi yang dijanjikan.[]
Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.