Pidato Waketum ABI: Ahlulbait Indonesia, Wilayah, dan Cita-Cita Peradaban


Disampaikan dalam acara MUSWIL Dewan Pimpinan Wilayah Ahlulbait Indonesia (DPW ABI) Sulawesi Tenggara, Sabtu, 28 Juni 2025

Oleh: Redaksi Media ABI

Ahlulbait Indonesia — Pidato Wakil Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Ahmad Hidayat, dalam pembukaan Musyawarah Wilayah DPW ABI Sulawesi Tenggara, 28 Juni 2025, bukanlah sekadar sambutan seremoni. Pidato tersebut adalah penegasan ideologis, artikulasi teologis, dan sekaligus refleksi strategis atas peran Ahlulbait Indonesia (ABI) dalam membangun konsolidasi umat di tengah dinamika zaman yang tak menentu.

Wilayah sebagai Poros Eksistensi

Dengan gaya tutur khas perjuangan spiritual, Ustadz Ahmad menempatkan Wilayah sebagai kepemimpinan Ilahiah dalam konteks Imamah, bukan sekadar ajaran, tetapi sebagai inti dari eksistensi. “Tanpa Wilayah, alam semesta ini tak akan tercipta,” tegasnya. Sebuah pernyataan yang jika dibaca dari kerangka filsafat penciptaan, bukan hiperbola, tetapi kebenaran ontologis.

Dalam konteks ini, Wilayah bukan hanya simbol ketaatan, melainkan jantung kehidupan itu sendiri. Ibadah tanpa pengakuan terhadap imamah adalah tubuh tanpa ruh. Puasa, haji, bahkan Tauhid, tidak mencapai kedalaman maknanya tanpa keterhubungan pada rantai kepemimpinan Ilahi.

Organisasi sebagai Medium Perlawanan Spiritual

Lebih jauh, beliau menegaskan bahwa ABI bukan organisasi administratif biasa. ABI bukan tempat belajar berorganisasi semata, seperti organisasi mahasiswa konvensional. ABI adalah perpanjangan ideologis dari barisan penanti Imam Mahdi a.f., bagian dari arus penantian global yang menyiapkan dunia bagi keadilan paripurna.

“Kalau bukan karena ini,” ujar beliau, “untuk apa kita menghabiskan waktu, tenaga, dan sumber daya membangun organisasi?” Keterlibatan di dalamnya adalah deklarasi kesetiaan kepada poros kebenaran dan cita-cita langit yang hendak dihadirkan ke bumi.

Ustadz Ahmad pun menyinggung posisi strategis kelompok kecil. “Minoritas kita adalah rezeki dari Allah yang harus disyukuri. Sebab jika jumlah besar datang sebelum kita siap mengelola, itu bisa menjadi bencana. Tidak ada gunanya banyak, jika tidak terorganisasi.” Sebuah pelajaran dari sejarah Islam awal yang kembali relevan di zaman ini.

Muharram dan Syiar Perlawanan Jiwa

Pidato ini mencapai titik klimaks saat menyinggung Muharram dan peringatan Asyura. Ustadz Ahmad tak hanya mengajak hadirin untuk hadir di majelis-majelis takziyah, tetapi menegaskan bahwa kehadiran itu adalah ujian spiritual dan deklarasi eksistensial.

“Kalau bukan karena darah Imam Husain, tidak ada agama,” ungkapnya. Sebuah kesaksian yang lahir dari kedalaman pengalaman rohani. Bahkan beliau menuturkan, “Kalau saya tidak mengenal agama melalui Imam Husain, mungkin saya sudah jadi ateis. Saya tidak bisa mengenal agama ini melalui jalur lain.”

Di tengah banalitas religius yang menggejala, pernyataan ini adalah palu yang menghantam kebekuan spiritual umat. Bahwa Asyura bukan nostalgia, tapi bara perjuangan yang menghidupkan ulang makna iman dan arah perjuangan.

Melampaui Kuantitas, Menyusun Kekuatan

Di tengah realitas umat yang terseret logika angka, statistik, dan pencitraan massa, pidato ini tampil sebagai oase pemurnian. Pidato ini mengembalikan perjuangan ke jantungnya: kualitas iman, kedalaman ideologi, dan kesiapan menempuh takdir sejarah.

Seperti dalam sejarah awal Islam, perubahan besar selalu dimulai dari kelompok kecil yang bersungguh-sungguh menjaga bara keyakinan. Maka bergabung dengan ABI bukan soal jumlah, tetapi soal posisi, yakni posisi dalam skenario Ilahi yang lebih besar dari kita semua.

Membangun Peradaban dengan Filsafat dan Kesetiaan

Pidato ini menandai ABI bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi bagian dari jaringan peradaban yang tengah dibangun ulang oleh tangan-tangan sunyi para penanti Imam Mahdi. Dengan menjadikan Wilayah sebagai simpul eksistensi, dan Imam Husain sebagai sumber energi spiritual dan perlawanan, Ustadz Ahmad berusaha mengembalikan arah kompas gerakan ini ke porosnya, yaitu Allah, keadilan, dan kesetiaan.

Dalam dunia yang gaduh namun kehilangan arah, pidato ini adalah panggilan untuk kembali ke akarnya, ke ideologi yang kokoh, ke barisan yang disiplin, dan ke jalan panjang yang mungkin sepi, tetapi pasti sampai. []



Source link

TERKINI

EDUKASI