Refleksi Peringatan Hari Media Sosial dan Standar Ganda Media Arus Utama


Oleh: R. Anis Muhamad, SE.,SH., MH., BKP

(Ketua DPW ABI DKI Jakarta) 

Ahlulbait Indonesia – Hari Peringatan Media Sosial yang jatuh setiap 10 Juni adalah momentum reflektif atas peran media sosial dalam membentuk opini publik, memperkuat suara-suara yang terpinggirkan, dan mengimbangi dominasi narasi media arus utama. Dalam konteks ini, artikel ini menyoroti temuan studi MintPress News (6 Juni 2025) tentang penurunan tajam liputan media terhadap aktivis iklim Greta Thunberg. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana media arus utama secara selektif mempromosikan isu dan tokoh berdasarkan keselarasan dengan kepentingan elit.

Studi tersebut mencatat bahwa pada 2018–2019, The New York Times dan The Washington Post menerbitkan ratusan artikel tentang Thunberg. Namun, pada 2025, jumlah itu anjlok menjadi hanya tiga dan dua artikel, masing-masing. Bahkan, hanya satu artikel di tiap media yang mengulasnya secara mendalam. Penurunan drastis ini bertepatan dengan transformasi sikap Thunberg, dari fokus pada perubahan iklim menjadi kritik tajam terhadap kapitalisme dan dukungan vokal terhadap Palestina. Ia bahkan menyebut serangan Israel di Gaza sebagai “genosida.”

Greta mulai dibidik sebagai radical dan mengganggu aktivitasnya sebagai pegiat isu climate change setelah postingannya pada media sosial tahun 2021 bahwa Israel melakukan kejahatan perang dan membuat hashtag #SaveSheikhJarrah. Akhirnya Greta ditangkap tahun lalu saat melakukan protes atas diikutkannya Israel pada Eurovison Song Contest.    Mainstream Media sering kali bias dan tak dapat memberitakan fakta sebenarnya dan terkesan sangat berhati hati dan tidak lugas atas sesuatu peristiwa yang sudah jelas, misalnya perdebatan apakah Israel melakukan genosida di terhadap Palestina. Hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti pemberitaan dan liputan sepihak dan tak seimbang tanpa check fakta sebenarnya dilapangan. Faktor penting lainnya karena hambatan politik, tantangan ideologis serta keterbatasan logistic sebagaimana diberitakan oleh IEMed sebuah lembaga spesialisasi dibidang hubungan Euro-Meditarian.

Thunberg sebelumnya dielu-elukan sebagai ikon gerakan iklim. Di usia 16 tahun, ia telah berbicara di Parlemen Uni Eropa dan hadapan pemerintah Inggris. Ia menerima berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Swedish Woman of the Year, dan dinobatkan sebagai Person of the Year oleh Time, yang memujinya karena “menyuarakan alarm bahaya hubungan predator manusia terhadap bumi.” The New York Times menyebutnya “Cassandra masa kini di era perubahan iklim.” Namun, begitu ia menolak menjadi simbol yang jinak, mengkritik sistem kapitalisme, dan menyuarakan pembelaan terhadap Palestina, media arus utama mengurangi, bahkan menghapus kehadirannya.

Forbes menyebut sikap pro-Palestina Thunberg sebagai “masalah” bagi gerakan iklim, sementara Der Spiegel melabelinya sebagai “antisemit.” Ini menegaskan standar ganda: selama Thunberg bicara dalam batas narasi reformis yang tidak mengusik struktur kekuasaan global, ia dirayakan. Tapi ketika pesannya menyentuh akar sistemik ketidakadilan; kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, ia dibungkam.

Fenomena ini bukan hal baru. Dr. Jill Stein menyebut, “Greta telah ‘dibatalkan’, seperti banyak aktivis hebat sebelumnya.” Pola ini juga dialami Martin Luther King Jr., yang semula dipuji saat hanya mengkritik segregasi di Selatan. Namun, setelah pidato Beyond Vietnam, yang mengutuk rasisme, kapitalisme ekstrem, dan militerisme, ia dikucilkan dan dijadikan musuh publik.

Elite liberal memiliki dua strategi utama, menjinakkan gerakan dengan simbolisme, akses, dan pengakuan institusional; atau jika gagal, melakukan penghapusan simbolik, baik melalui pengabaian, pencemaran citra, atau penghilangan fisik. Ini terjadi pada gerakan seperti Black Lives Matter, protes Occupy Wall Street, dan kini pada Thunberg.

Di sinilah letak pentingnya Hari Peringatan Media Sosial. Media sosial memberikan ruang bagi narasi alternatif. Thunberg, melalui X, Instagram, dan YouTube, menyampaikan pesan langsung kepada jutaan pengikut. Pada 2021, ia mengecam kejahatan Israel di Sheikh Jarrah. Tahun 2023, ia menyerukan gencatan senjata di Gaza. Tahun ini, ia mengampanyekan Freedom Flotilla untuk menembus blokade Gaza, sebuah aksi yang hampir sepenuhnya diabaikan oleh media korporat.

Refleksi ini menunjukkan tiga peran utama media sosial:

  1. Memperkuat suara marginal. Thunberg tetap bisa menyuarakan keadilan iklim dan sosial tanpa bergantung pada media arus utama.
  2. Meningkatkan kesadaran publik. Kampanye digitalnya mengangkat isu-isu yang selama ini ditekan, seperti dukungan terhadap Palestina.
  3. Mendorong akuntabilitas media. Media sosial memberikan ruang bagi publik untuk mengkritisi bias sistemik dan framing bermotif geopolitik.

Tentu saja, tantangan seperti disinformasi dan polarisasi tetap menghantui penggunaan media sosial. Oleh karena itu, literasi digital menjadi kunci untuk memilah informasi yang akurat dan menghindari narasi yang menyesatkan. Hari Peringatan Media Sosial mengingatkan bahwa kita bukan sekadar konsumen informasi, melainkan juga produsen narasi. Untuk memastikan keadilan informasi, kita perlu memperoleh informasi yang benar dari sumber atau ahli yang kompeten, seperti akademisi, jurnalis independen, atau aktivis dengan rekam jejak kredibel, sehingga dapat memanfaatkan media sosial secara kritis dan strategis. Media sosial adalah medan pertempuran ide, dan keadilan informasi hanya dapat dicapai jika kita menggunakannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Akhirnya, standar ganda media arus utama dalam memperlakukan tokoh seperti Greta Thunberg adalah bagian dari pola perlindungan terhadap kepentingan elit global. Hari Peringatan Media Sosial adalah ajakan untuk membangun kesadaran kolektif, bahwa media sosial, ketika digunakan dengan bijak, dapat menjadi alat perjuangan melawan hegemoni narasi, demi keadilan yang lebih luas.

Saya tutup artikel ini dengan pernyataan Thunberg yang menggugah dan tidak menunjukkan tanda-tanda gentar:

“Kami berdiri untuk keadilan, keberlanjutan, pembebasan untuk semua orang. Tidak ada keadilan iklim tanpa keadilan sosial.” Itulah jenis keberanian yang membunuh kolonialisme. []



Source link

TERKINI

EDUKASI