Oleh: Redaksi Media ABI
Ahlulbait Indonesia — Dalam sejarah Islam, terdapat dua palung makna yang tak henti mengalirkan darah dan cahaya, Ghadir Khum dan Karbala. Keduanya bukan sekadar peristiwa, melainkan simpul kosmis, tempat langit dan bumi bersaksi bahwa agama ini tidak lahir untuk berkompromi dengan kebatilan. Di Ghadir, kebenaran diangkat. Di Karbala, kebenaran ditebus. Dan hari ini, keduanya berpadu di medan paling kontemporer peradaban; Perlawanan Global Islam.
Ghadir adalah Karbala bagi kaum awam, dan Karbala adalah Ghadir bagi para khusus. Ini bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan pisau tafsir sejarah yang tajam. Di Ghadir Khum, tangan Ali diangkat dan janji diikrarkan, namun esoknya diingkari. Sebaliknya, di Karbala, tak ada ikrar formal, namun kesetiaan terjaga hingga napas terakhir. Yang satu mencerminkan pengingkaran dan pengkhianatan, yang lain memanifestasikan pengabdian dan pengorbanan.
Kini, kesadaran spiritual yang tumbuh tidak lagi memisahkan keduanya sebagai sejarah yang terpisah. Ghadir dan Karbala berpadu dalam satu napas, yaitu semangat kesetiaan yang tak lekang, dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan dalam Wilayah.
Tanpa harus hadir secara jasad di Padang Ghadir atau di dataran Karbala, umat Islam hari ini sedang menjahit kembali janji suci yang pernah terkoyak. Mereka memikul sumpah primordial dari alam ‘Alastu‘, melangkah menuju miqat sejarah, dan menyeru: “‘Arini, ya Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Jalan itu bermula dari Ghadir Khum, bermandikan darah suci di Karbala, dan kini menuntun langkah menuju al-Quds yang dirindukan.
Ghadir: Sebuah Sistem, Bukan Seremonial
Imam Khomeini, Bapak Revolusi Islam, menyingkap tirai penafsiran lama. Ghadir, menurutnya, bukan sekadar monumen spiritual, melainkan cetak biru dan arsitektur kekuasaan Ilahi. Wilayah bukan untuk dirayakan setahun sekali, melainkan untuk ditegakkan setiap detik.
Mengingat Ali bukanlah sekadar mengenang sosoknya, tetapi mewujudkan perjuangannya dalam tatanan sosial dan politik. Imam Khomeini menolak dikotomi palsu antara masjid dan istana, antara spiritualitas dan kekuasaan. Islam, bagi beliau, adalah satu sistem integral, kekuasaan yang tunduk pada wahyu, dan spiritualitas yang berpijak pada realitas.
Islam: Sebuah Sistem Peradaban
Apa arti Islam jika direduksi menjadi sekadar ibadah personal? Dalam khazanah hadis, hanya tiga dari lima puluh kitab membahas ibadah individual. Selebihnya membicarakan hukum sosial, ekonomi, militer, politik, dan keadilan. Maka Islam bukan sekadar tasbih, tapi juga taktik. Bukan hanya sajadah, tapi juga strategi.
Jika hukum-hukum ini wajib menurut syariat, maka pelaksanaannya bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menolak pelaksanaannya berarti menyaring agama sesuai selera, sebuah pengkhianatan intelektual dan spiritual, seperti yang telah diperingatkan Al-Quran:
“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah antara itu (keimanan atau kekufuran), merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan”. (QS. An-Nisa: 150–151)
Baca juga : Kapal Madleen dan Ketakutan Zionis: Saat Harapan Dihadang dengan Laras Senjata
Di Ghadir, Rasulullah Saw. tidak hanya sekedar menyampaikan wahyu. Nabi menghentikan kafilah di persilangan geopolitik antara Hijaz, Mesir, Syam, dan Irak. Nabi menanti seluruh umat, lalu mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi di bawah terik matahari, dan menyeru: “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
Ini bukan seremoni budaya. Itu adalah deklarasi politik Ilahi, sebuah penegasan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan milik mayoritas, tetapi hak mereka yang ditunjuk oleh Tuhan, suci dari dosa, dan bersih dari kepentingan duniawi.
Ketika Imam Mahdi memasuki masa ghaib, Islam tidak dibiarkan tanpa arah. Konsep Wilayah hadir sebagai kesinambungan, sebagai struktur syar’i dan rasional di masa ketiadaan Imam maksum.
Karbala: Darah yang Meneguhkan Janji Ghadir
Jika Ghadir adalah deklarasi, maka Karbala adalah pengesahannya. Di Karbala, pengorbanan bukan demi nostalgia keturunan Nabi, melainkan untuk meneguhkan kontrak abadi antara langit dan bumi, bahwa kebenaran harus ditegakkan, meski hanya tersisa bayi, ibu, dan segelintir pemberani.
Di Karbala, Wilayah bukan sekadar teori. Wilayah menjadi medan jihad, menjadi tubuh yang tercincang, menjadi pedang yang patah, menjadi suara lantang, “In kana dinu Muhammadin lam yastaqim illa bi qatli, faya suyufu khudzini!“.
Dan darah itu tak mengering sia-sia. Darah itu menjadi tinta yang menulis ulang arah politik umat Islam, bukan pada kompromi, melainkan pada kesetiaan yang tak tergadaikan. Karbala adalah bukti bahwa Wilayah tak cukup diimani, dan harus diperjuangkan.
Politik Kerinduan dan Poros Perlawanan
Ketika umat berseru, “Aina Ṣaḥib al-Zaman?“, mereka bukan menanti hantu dari masa silam. Mereka menantikan dzuhur, bukan wujud, karena Sang Imam hadir meski ghaib, dan senantiasa membimbing, meski tak terlihat.
Dan mereka yang hari ini mengibarkan panji Wilayah, dari Beirut ke Baghdad, Damaskus ke Sanaa, Teheran ke Gaza, Jakarta ke al-Quds, bukanlah aktor politik sektarian. Mereka adalah para penjaga cinta dan kerinduan. Politik mereka bukan hasil kompromi, tetapi buah dari air mata dan doa yang mengalir di malam-malam panjang sunyi.
Ini adalah politik kalbu, politik yang terikat janji Ghadir Khum dan menangisi luka Karbala.
Poros yang Mengguncang Dunia
Imam Khomeini tidak sekadar menumbangkan tirani, namun mengubah arah sejarah. Dari reruntuhan kolonialisme, Imam bangkitkan paradigma baru, sebuah Poros Perlawanan yang kini menjadi mimpi buruk bagi para hegemon global.
Dari Pentagon hingga Tel Aviv, visi perjuangan Imam mengguncang tatanan lama. Immanuel Wallerstein menyebutnya sebagai “kendala utama bagi sistem dunia.” Alvin Toffler menyebutnya, “kekuatan tak terelakkan dalam geopolitik modern.” Dan Anthony Giddens mengakui bahwa pasca-1979, dunia justru bergerak menuju religiusitas yang mengakar, bukan sekularisasi.
Semua ini bersumber dari satu titik, yakni janji yang diikrarkan di Ghadir Khum, ditebus di Karbala, dan kini menyala di garis perbatasan al-Quds.
Satu Jalan, Satu Poros, Satu Tujuan
Dari Ghadir Khum ke Karbala, dari Karbala menuju al-Quds, jalan ini bukan jalan nostalgia dan romantisme sejarah. Ini adalah jalan Perlawanan, jalan yang masih basah oleh darah para Syuhada, dan tetap menyala oleh cahaya Wilayah.
Selama umat ini masih menyeru “Labbaik ya Husain” dan “Labbaik ya Mahdi”, maka Wilayah akan tetap menjadi jantung yang memompa darah perjuangan dalam tubuh peradaban Islam. Hingga kezaliman tumbang. Hingga bumi dipimpin oleh keadilan Ilahi yang dijanjikan.
Lalu di manakah posisi kita hari ini dalam barisan panjang ini?[]
Baca juga : Refleksi Peringatan Hari Media Sosial dan Standar Ganda Media Arus Utama