Tamu: Amanah Kehormatan dan Ujian Akhlak


Oleh: Ustadz Abdollah Assegaf (Anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia)

Ahlulbait Indonesia – Dalam tradisi Islam, kedatangan tamu bukan sekadar kunjungan sosial, melainkan merupakan amanah akhlak dan kesempatan dakwah. Islam sangat menekankan pentingnya menghormati tamu, karena di dalamnya terdapat nilai Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa), pelayanan sosial, dan penguatan ukhuwah.

Allah SWT berfirman:

هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ
Sudahkah datang kepadamu cerita tentang tamu-tamu Ibrahim yang dimuliakan?
(QS. Adz-Dzariyat: 24)

Kisah ini bukan hanya pelajaran sejarah, tetapi juga metodologi akhlak dakwah: bahwa seorang tuan rumah, seperti Nabi Ibrahim, tidak menunggu tamu meminta, tetapi berinisiatif menyambut dan melayani mereka sebelum mereka sempat membuka mulut. Inilah akhlak kenabian.

Dalam riwayat, Imam Ja‘far ash-Shadiq as, bersabda:

إِكْرَامُ الضَّيْفِ مِنَ الْإِيمَانِ، وَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Memuliakan tamu adalah bagian dari iman. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.

Namun dalam praktiknya, tidak semua tamu membawa keberkahan murni. Terutama dalam konteks tamu yang datang sebagai da‘i atau ulama dari luar negeri atau luar daerah, kita harus cermat dalam menyikapi. Sebagian membawa cahaya ilmu dan hikmah, menguatkan umat dan memperindah akhlak. Namun sebagian lain, tanpa kita sadari, bisa membawa pemahaman yang tidak kontekstual, atau bahkan menyusupkan konflik dalam komunitas yang awalnya tenang.

Imam Ali as, mengingatkan:

لَا تَنْظُرْ إِلَى مَنْ قَالَ، وَانْظُرْ إِلَى مَا قَالَ
Jangan melihat siapa yang berkata, tetapi lihatlah apa yang dikatakan.

Maka, menyambut tamu, terlebih yang datang sebagai pembawa dakwah, bukan hanya tentang keramahan, tetapi juga tentang kebijaksanaan dalam menyeleksi pengaruh. Kita menghormati semua, tetapi tidak mengadopsi semua. Bahkan dalam akhlak Ahlul Bait, pelayanan terhadap tamu bukan bermakna menjadi “pelayan” secara sosial, tetapi menjadi tuan yang melayani dengan martabat dan panduan hikmah.

Kadang kita dapati: tamu datang, berbicara dengan semangat, lalu pergi. Namun yang menanggung dampaknya, entah positif atau negatif, adalah tuan rumah dan masyarakat setempat. Maka, menjadi penting untuk memiliki kesiapan ilmu dan kesadaran sosial sebelum membuka pintu rumah dan podium kepada siapa pun yang mengatasnamakan dakwah.

Imam Ali Zain al-‘Abidin as, dalam Risalat al-Huquq menulis:

وَأَمَّا حَقُّ الضَّيْفِ فَإِكْرَامُهُ، وَالْقِيَامُ بِحَقِّهِ فِي الْمُجَالَسَةِ، وَالإِحْسَانُ إِلَيْهِ فِيمَا عَرَضَ مِنْ أَمْرِهِ
Adapun hak tamu adalah memuliakannya, memperlakukannya dengan baik dalam majelis, dan berbuat ihsan terhadap apa pun yang menjadi kebutuhannya.

Kita perlu belajar bahwa menyambut tamu bukan hanya adab sosial, tetapi cerminan jiwa dan tanggung jawab moral. Terutama dalam era globalisasi dakwah saat ini, keterbukaan harus disertai ketelitian, dan keramahan harus disertai kecerdasan spiritual.[]



Source link

TERKINI

EDUKASI